Hingga usia 92 tahun, maaf PSSI, tolong berikan contoh kepada publik sepak bola nasional, mana Sekolah Sepak Bola (SSB), Akademi Sepak Bola (ASB), Diklat Sepak Bola (DSB), atau Soccer School-Soccer School-an (SSS) yang benar-benar benar, lahir dan berdiri sesuai aturan, fungsi, dan kedudukannya di ranah sepak bola Indonesia sesuai jenjang pendidikan yang benar?
(Supartono JW.09052022)
Sebuah refleksi. Apa saya paham tentang definisi Sekolah, Akademi, Diklat sesuai khasanah pendidikan di Indonesia? Kalau paham, mengapa dalam sepak bola akar rumput di Indonesia, terus dibiarkan SALAH KAPRAH kata-kata tersebut menempel dengan kata sepak bola, sehingga menjadi sekolah sepak bola, akadami sepak bola, Diklat sepak bola, dan lainnya tak berarah?
(Supartono JW.09052022)
Mendirikan SSB, tanpa regulasi
Mendirikan SSB dan lainnya sampai sekarang belum pernah ada peraturan yang baku dari PSSI mau pun Pemerintah Indonesia. Tak ada regulasi.Â
Sebagai warga negara yang benar, ada yang jelas dan tegas dalam langkah dan proses mendirikan SSB, sejak wadah SSB digaungkan secara resmi oleh PSSI tahun 1999.Â
Selain berbekal sebagai praktisi sepak bola, paham sepak bola, bekal lisensi kepelatihan sepak bola, bekal kompetensi pendidikan dan standar kependidikan, mendirikan SSB juga dimulai dengan langkah awalnya, seperti:
Pertama, menyiapkan diri dulu memenuhi syarat kelembagaan sekolah. Membuat AD/ART, menyiapkan struktur organisasi/sekolah, menyiapkan staf pengajar/pelatih dan lainnya yang memenuhi kompetensi standar pendidik dan standar sepak bola.Â
Kedua menyiapkan sarana dan prasarana yang mendekati persyaratan berdirinya sebuah sekolah.
Ketiga, saat bersamaan juga mengurus  izin domisili sekretariat sekolah ke RT. Lalu, izin pendirian SSB mulai dari RT, RW, Kelurahan, dan Kecamatan, hingga Kabupaten/Kota.
Keempat, saat bersamaan juga mengurus izin penggunaan/sewa Stadion sebagai markas berlatih tetap. Stadion pun bukan hanya disewa lapangannya. Tetapi ruang-ruang di bawah tribun penonton, dijadikan kelas untuk siswa belajar teori TIPS sepak bola dan teori dan praktik Intelektual, sosial, emosional, analisis, kreatif-imajinatif-inovatif dan iman (Iseaki) siswa untuk kehidupan nyata.
Kelima, secara lembaga, sudah disiapkan Kurikulum dan Kepala Kurikulum pelatihan dan pendidikan yang sekaligus praktisi sepak bola dan pendidikan, lalu direkrut para pengajar/pelatih yang memiliki standar kompetensi pendidikan selain syarat sebagai praktisi sepak bola.
Keenam, setelah pelatihan berjalan selama dalam dua semester (setahun), lalu berhasil membentuk 6 tim sesuai tingkatan/kelompok umur, maka keberadaan SSB, baru layak disebut berdiri, laporkan ke Askab/Askot PSSI sebagai afiliasi dari sebuah Klub anggota Askab/Askot.
Saat itu, PSSI pun belum jelas memposisikan keberadaan SSB, sehingga  sampai ada yang berinisiatif melahirkan Asosiasi Sekolah Sepak Bola. Tujuannya, membantu mengarahkan dan memandu SSB yang bermunculan, agar berjalan sesuai rel versi Asosiasi SSB yang dicipta. Semua, sekadar meniru jejak regulasi dan akreditasi sekolah formal yang ada panduan dari Dinas Pendidikan.Â
Dan kisah lainnya hingga terus berjalan hingga detik ini. Terus ada revisi, koreksi, refleksi, berusaha berkembang, berusaha inovatif. Karena proses itu, tidak ada yang instan. Tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak sekadar asal lagi punya uang. Punya lahan. Punya koneksi. Punya kolega. Apalagi doyan cabut dan bajak siswa/pemain, lalu sok bercita masuk Timnas, Dll.
Prestasi terbaru Timnas
Gelaran cabang olahraga (cabor) SEA Games 2021 Grup A, panas. Setelah dalam laga pembuka, tuan rumah Vietnam sukses menggebuk Garuda Muda U-23 3 gol tanpa balas (6/5/2022), ternyata Timnas Filipina U-23 berhasil menahan imbang tanpa gol Timnas Vietnam U-23 pada laga kedua fase grup A SEA Games 2021 di Stadion Viet Tri, Phu Tho pada Minggu (8/5/2022).
Kondisi ini membuat Filipina, sementara menggeser Vietnam di puncak klasemen karena menang selisih gol. Bagaimana dengan nasib Timnas Indonesia U-23? Saya sebut, Shin Tae-yong (STy) dan pasukannya harus menolong diri sendiri, mengambil 3 kemenangan di laga sisa, bila tetap mau melaju ke babak semi final, sebelum mimpi meraih medali emas terwujud.
Sebab, sementara pestasi terbaru Timnas Indonesia kembali dipecundangi Vietnam.
Fakta Timnas, pondasi, konsisten terabaikan
Atas fakta yang selalu dialami oleh Timnas Indonesia dengan permainan yang tak sesuai ekspetasi, tak cerdas TIPS, pun pelatih juga sepertinya memiliki problem klasik yang sama, apalagi bila Timnas dibesut oleh pelatih asing, maka semua problem itu, akar masalahnya ada di mana? Jawabnya jelas. Ada di PSSI, yang terus membiarkan Timnas Indonesia diisi oleh talenta-talenta yang tak kuat dan tak lulus dalam pendidikan dan pelatihan sepak bola dasarnya.
Sementara, untuk urusan pondasi sepak bola nasional, PSSI tak pernah bersyukur bahwa mereka telah dibantu oleh para orang tua yang gila sepak bola di seluruh Indonesia, hingga pelatihan sepak bola di akar rumput terus menggelora.
Tetapi menjamurnya Sekolah Sepak Bola (SSB), lalu ada yang gaya-gayaan bikin Akademi Sepak Bola (ASB), ada yang sok tahu bikin Diklat Sepak Bola (DSB), dan tambah lucu ada yang bikin Soccer-Soccer School (SSS) segala, hingga sekarang PSSI tak pernah bergeming dengan kondisi itu.
Tak ada PSSI membuat aturan dan regulasi berdirinya SSB dan yang sok-soka-an itu. Tak ada rujukan, tak ada arahan, tak pernah membuat kepastian bagaimana kedudukan dan fungsi SSB dan yang sok-sok-an itu dalam peta sepak bola nasional. Rencana afilisi pun gatot (gagal total).Â
Pihak swasta malah mengambil alih turnamen dan kompetisi sepak bola akar rumput, dan dibiarkan pula.
Lalu, turnamen Piala Soeratin pun, digelar atas nama Klub dan SSB dan yang sok-sok-an hanya ditempel sebagai afiliasi klub di Askab mau pun Askot saat Soeratin di gelar.
Ranah sepak bola akar rumput Indonesia, sebagai kawah candradimuka dan pondasi sepak bola nasional, jangankan dirawat oleh PSSI, kehadirannya saja tak pernah dibakukan dalam regulasi yang tegas dan jelas. Apalagi PSSI mau merawat sepak bola akar rumput, yang tak menghasilkan rupiah buat kantong pribadi para pengurus PSSI.
Bahkan, PSSI pun tak mau sadar dan menyadari, telah terjadi salah kaprah luar biasa dalam wadah sepak bola akar rumput Indonesia. Apa PSSI peduli dan ikut menjernihkan suasana? Apa PSSI punya kompetensi mumpuni dalam pemahaman wadah sepak bola akar rumput?
Apakah PSSI paham betul tentang SSB/ASB/DSB/yang Soccer-Soccer-an? Mereka semua terus menjamur, tapi banyak diisi oleh para insan yang tak paham tentang syarat organisasi, syarat institusi, struktur, fungsi, kedudukan dan lainnya?
Menyebut dirinya SSB. Apa tahu syarat SSB dan bentuk SSB itu harus ada apa, siapa, mengapa, kapan, bagaimana, di mana? Menyebut dirinya ASB, DSB, Soccer-Soccer-an, apa juga tahu syarat dan bentuk serta aturan-aturannya harus ada apa, siapa, mengapa, kapan, bagaimana, di mana?
Tapi, salah kaprah ini terus terjadi. Sementara para pelaku bukannya malu atas ketidakpahaman dan gaya-gaya-annya, sebaliknya mereka malah bangga ada di dalam kesalahkaprahan dan tentunya juga sedang menunjukkan kebodohannya masing-masing.
Bila STy teriak pemain Timnas harus dilatih lagi teknik dasar, itulah jawabannya. Sebab, wadah sepak bola akar rumput di Indonesia terus dibiarkan jalan sendiri. Tak berstandar, tak memenuhi syarat institusi, keorganisasian, kepengurusan, kepelatihan yang kompeten dan lainnya.
Sudah ratusan kali saya bilang, sangat berbahaya, wadah sepak bola akar rumput tidak diampu oleh insan yang tak kompeten di bidangnya. Meski sepak bola akar rumput kegiatan nonformal dan terus ada yang gaya-gaya-an atau sok tahu ikutan formal karena SSB ada S (Sekolah), ASB ada A (Akademi), DSB ada D (Diklat), Soccer-Soccer-an yang=Sekolah. Semua ini terus bergulir dan berjalan, pun dibiarkan. Tak pernah ada panduan dan arahan.
Sepak bola kegiatan informal sama seperti olahraga lain, tapi anak-anak usia dini dan muda, di bidang pendidikan formal dan nonformal, wajib didik oleh insan yang kompeten, punya ilmu dan pedagogi standar tentang anak usia dini dan muda. Sekolah PAUD saja, syaratnya dididik oleh Sarjana yang kuliah minimal kulaih 8 semester (4 tahun) bukan lisensi pelatih sepak bola D/C/B/A, yang hanya ditempuh dalam hitungan Minggu dan Bulan.
Sudah begitu, apakah selama ini para pegiat sepak bola akar rumput menyadari dan paham, adanya tempelan Sekolah, Akademi, Diklat, dan Soccer-Soccer-an dalam wadah nonformal yang mereka buat? Asal punya duit, bisa sewa lapangan, bayar murah pelatih tak memenuhi syarat dan standar, berdirilah SSB. Berdirilah Akademi, Diklat dll.Â
Lalu muncul festival sepak bola yang asal jalan, muncul turnamen, bahkan kompetisi. Ada yang hanya dijadikan jalan dan kendaraan untuk merebut/membajak siswa dari SSB peserta dengan berbagai dalih. Mengaku-aku sebagai pahlawan yang telah membina pemain dll.
Bisa apa PSSI? Terus tambah kekacauan sepak bola akar rumput di negeri ini. Buntutnya, lihat para pemain Timnas kita. Lihat pelatihnya harus melatih apa? Sebab, pondasi sepak bola nasional tak diurus oleh ahli dibidangnya, tapi terus dibiarkan berjalan, tanpa arah dan tanpa panduan.
Usia dini, usia muda
Sudah lama, sudah puluhan tahun saya menyimpan artikel ini. Sejatinya, artikel ini sewajibnya dipahami dan dikuasai oleh para pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) secara umum, dan secara khusus dikuasai oleh bidang yang mengurus sepak bola akar rumput.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti akar rumput adalah sesuatu yang lemah, yang mudah terombang-ambing. Arti lainnya dari akar rumput adalah tingkat paling bawah dalam masyarakat dan sebagainya.
Jelas bahwa sebagai pondasi sepak bola nasional, sektor akar rumput yang lemah wajib dibuat kuat. Namun, karena hingga 92 tahun, PSSI tetap tak bergeming, dan saya anggap tak mampu dan tak memiliki kompetensi menggarap sektor sepak bola akar rumput dengan benar, maka kekalahan Timnas U-23 atas Vietnam U-22, menjadi momentum untuk refleksi dan instrospeksi (muhasabah) bagi PSSI khususnya, dan umumnya pegiat sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) di seluruh Indonesia.
Pengertian anak usia dini menurut undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang disebut dengan anak usia dini adalah anak usia 0- 6 tahun, sedangkan menurut para ahli adalah anak usia 0-8 tahun.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan rohani dan jasmani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan 6 (enam) perkembangan: agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan sesuai kelompok usia yang dilalui oleh anak usia dini seperti yang tercantum dalam Permendikbud 137 tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD (menggantikan Permendiknas 58 tahun 2009).
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini, yaitu:
Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah, sehingga dapat mengurangi usia putus sekolah dan mampu bersaing secara sehat di jenjang pendidikan berikutnya.
Dalam literasi lain, rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun (masa emas).
Ruang lingkup Pendidikan Anak Usia Dini, di antaranya: bayi (0-1 tahun), balita (2-3 tahun), kelompok bermain (3-6 tahun), dan sekolah dasar kelas awal (6-8 tahun).
Selanjutnya, masa muda merujuk pada seseorang antara usia 18-27, di bawah itu adalah remaja sedangkan usia 28-40 itu adalah usia dewasa di mana orang tengah pada titik puncaknya dan untuk di atas itu adalah usia pertengahan.
Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) bab 1 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia usia muda adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, Page 3 16 batasan tersebut menegaskan bahwa anak usia usia muda adalah bagian dari usia remaja.
Dengan demikian, tidak perlu saya simpulkan sekurangnya bila dianalogikan dalam ranah akar rumput sepak bola, jelas, mana kelompok usia dini dan muda.
Pembinaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pembinaan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik serta mempertahankan dan meyempurnakan apa yang telah ada yang sesuai dengan yang diharapkan.
Pertamyaannya, apakah sebelumnya sudah ada pembinaan dari PSSI di sepak bola akar rumput yang konsisten? Bila ada mana yang dibina dengan benar?Â
Sejak SSB digaungkan tahun 1999 oleh PSSI kepemimpinan Agum Gumelar, (sejarahnya saya tulis lengkap di berbagai artikel), apakah ada pembinaan terhadap SSB oleh PSSI?
Jadi, bila saat ini masih ada yang memakai diksi pembinaan sepak bola akar rumput, benar atau salah?
Sekolah
Sesuai KBBI, sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya, ada) dasar, lanjutan, tinggi.
Sekolah juga bermakna waktu atau pertemuan ketika murid diberi pelajaran sesuai waktu yang ditentukan. Â Sekolah juga berarti usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan), pelajaran dan pengajaran.
Dari definisi sekolah, bagaimana dengan yang mengatasnamakan dirinya wadah sepak bola berbentuk SSB? Coba dekatkan dengan makna yang ini saja. sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya, ada) dasar, lanjutan, tinggi.
Lalu, kapan siswa SSB dianggap lulus? Apa setelah PAUD A dan B? Apa setelah 6 tahun seperti SD? Atau nambah 3 tahun seperti SMP dan nambah 3 tahun model SMA?Â
Lalu, cek syarat bangunan sekolah. Cek keberadaan lembaganya. Cek keberadaan pengajarnya (pelatih), tentu bicara kompetensi. Cek tingkatannya, tentu bicara Kurikulum, dll.Â
Lalu, siapa yang selama ini mengontrol, mengarahkan, memandu, kasih Kurikulum yang benar, mensupervisi, mengakreditasi Sekolah bernama SSB?
Jadi, sampai berani menyebut wadah sepak bola yang dibuatnya adalah SSB, bagaimana ceritanya? Bila persyaratannya jauh panggang dari api? PSSI sendiri tak punya regulasi.
Akademi
Menurut KBBI, akademi adalah lembaga pendidikan tinggi, kurang lebih 3 tahun lamanya, yang mendidik tenaga profesional. Akademi juga perkumpulan orang terkenal yang dianggap arif bijaksana untuk memajukan ilmu.
Bagaimana yang dengan yang menyebut wadah sepak bola akar rumputnya Akademi? Akademi Sepak Bola? Apa mau mereka mau bilang mengadopsi gaya dan cara sepak bola manca negara yang sudah berhasil dengan sebutan akademinya? Apa sudah dilihat akademi sepak bola di manca negara seperti apa?
Diklat
Dalam KBBI, diklat adalah kepanjangan dari "pendidikan" dan "pelatihan". Arti pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan. Dan, pelatihan merupakan proses, cara, kegiatan atau pekerjaan melatih.
Diklat ini jelas memerlukan sarana prasarana, tim instruktur profesional, dan peserta yang dididik dan dilatih. Apalagi, di Indonesia, pemahaman diklat lebih banyak melahirkan para pendidik/pelatih menjadi kompeten karena ikut pendidikan dan pelatihan khusus sesuai bidannya, di luar bekal ilmu yang telah diperolah di bangku sekolah dan kuliah.
Wahai PSSI, apakah tak malu membiarkan wadah sepak bola akar rumput terus menjamur, bergulir tanpa arah, dan konsisten salah kaprah?
Wahai pegiat sepak bola akar rumput, sadarkah dengan kondisi ini? Masih akan terus gaya-gayaan dengan SSB, ASB, DSB, atau Soccer School-an dll.
PSSI kasih contoh lah!
Bila mengurai salah kaprah ini dirasa rumit. Apalagi tak menguntungkan secara finansial bagi pengurus. Ayolah PSSI memberi contoh, mana SSB yang seharusnya boleh berkiprah di Indonesia memenuhi syarat dan standar. Lalu benarkah boleh ada nama Akademi dan Diklat Sepak Bola, sementara keberadaan SSB saja masih liar?
Lalu, Akademi itu apa, Diklat itu apa? Ayolah bikin sepak bola Indonesia cerdas. Cerdas para pegiatnya, cerdas stakeholdernya. Cerdas para insan dan praktisinya. Selama semuanya berkolabirasi dalam ketidakerdasan.
Maka, jangan harap lahir pemain nasional yang kompeten dan cerdas TIPS. Lihat, sekolah formal dan kampus formal unggulan yang memenuhi syarat dan terakreditasi di Indonesia saja banyak. Tapi secara umum pendidikan di Indonesia terus tercecer dan terpuruk.
Apalagi wadah sepak bola akar rumput di Indonesia, yang tak ada satu pun terakreditasi. Bagaimana bisa berharap Timnas bisa berprestasi. Bahkan, bila PSSI sampai mengakreditasi keberadaan wadah sepak bola akar rumput yang dianggap mewakili dan dapat jadi contoh di Indonesia, apakah itu bukan mustahil?
Ada kompetisi resmi yang dihelat PSSI bernama Piala Soeratin. Siapa yang akhirnya membiayai kesertaan tim hingga babak final nasional? PSSI hanya jual dan cari nama, siapa yang jadi kambing hitam dan korban dalam hal biaya dan anggaran?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H