Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

HUT Kartini ke-58, Seharusnya Terus Terang Terus

21 April 2022   10:29 Diperbarui: 21 April 2022   10:46 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karenanya, Kartini ingin, sebagai seorang wanita, ia dan kaumnya juga sama diperlakukan seperti saudara atau teman-temannya yang pria. Tetapi, saat itu, Kartini harus dihadapkan dengan masalah adat kebudayaan daerah setempat, yaitu seorang wanita tidak bisa menentukan dan mewujudkan kehendak sendiri, harus mengikuti apa kata orang tua.

Latar inilah yang akhirnya membuat pikiran dan hati Kartini tergerak. Mengapa seorang perempuan harus dihalang-halangi untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi sedangkan laki-laki tidak.

Kartini yang mengidolakan kakaknya, dan ingin sekolah ke Belanda, ingin mendapatkan pendidikan yang tinggi, layaknya kakak keduanya, RMP Sasrokartono, yang pendidikannya cemerlang di TU Delft Belanda dan menguasai 26 bahasa.

Sayang, niatnya terhalang, membuat Kartini mengkritik dengan berkorespondensi dengan orang-orang Belanda. Beberapa orang yang berkirim surat dengan Kartini adalah Estella H. Zeehandelaar, J.H. Abendanon dan isterinya (Rosa Abendanon), serta Prof. Anton.

Di beberapa media Indonesia, ada yang sering mengangkat dua contoh surat RA Kartini, yang membuktikan bahwa Kartini memperjuangkan kaum wanita Indonesia. Di antaranya surat yang dikirim Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902. Isinya:

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."

Berikutnya, Surat Kartini untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902), isinya:

"Pergilah, laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi... Pergilah! Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi." (Surat Kartini untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).

Tak perlu saya perjelas lagi, apa maksud kedua surat Kartini tersebut, namun dalam surat yang dikirim untuk Ny. Van Kol, ada bicara hukum yang tidak adil, kepalsuan, serta mana yang baik dan buruk. Hal ini, mirip kejadian di Indonesia saat ini. Padahal, surat Kartini sudah ditulis sejak 120 tahun lalu. Miris.

Yah, Indonesia terkini TERUS GELAP, TERBIT GELAP LAGI (TGTGL), bukan HGTT seperti judul buku yang disematkan oleh Mr. J. H. Abendanon untuk perjuangan Kartini yang terbukti dari surat-suratnya.

Semoga, pada peringatan Hari Kartini (HK) edisi ke-58, Kartini di sana tidak sedih dengan kondisi wanita Indonesia sekarang, sebab kaum emak-emak dibikin antre minyak goreng oleh rezim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun