Karenanya, Kartini ingin, sebagai seorang wanita, ia dan kaumnya juga sama diperlakukan seperti saudara atau teman-temannya yang pria. Tetapi, saat itu, Kartini harus dihadapkan dengan masalah adat kebudayaan daerah setempat, yaitu seorang wanita tidak bisa menentukan dan mewujudkan kehendak sendiri, harus mengikuti apa kata orang tua.
Latar inilah yang akhirnya membuat pikiran dan hati Kartini tergerak. Mengapa seorang perempuan harus dihalang-halangi untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi sedangkan laki-laki tidak.
Kartini yang mengidolakan kakaknya, dan ingin sekolah ke Belanda, ingin mendapatkan pendidikan yang tinggi, layaknya kakak keduanya, RMP Sasrokartono, yang pendidikannya cemerlang di TU Delft Belanda dan menguasai 26 bahasa.
Sayang, niatnya terhalang, membuat Kartini mengkritik dengan berkorespondensi dengan orang-orang Belanda. Beberapa orang yang berkirim surat dengan Kartini adalah Estella H. Zeehandelaar, J.H. Abendanon dan isterinya (Rosa Abendanon), serta Prof. Anton.
Di beberapa media Indonesia, ada yang sering mengangkat dua contoh surat RA Kartini, yang membuktikan bahwa Kartini memperjuangkan kaum wanita Indonesia. Di antaranya surat yang dikirim Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902. Isinya:
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."
Berikutnya, Surat Kartini untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902), isinya:
"Pergilah, laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi... Pergilah! Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi." (Surat Kartini untuk Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Tak perlu saya perjelas lagi, apa maksud kedua surat Kartini tersebut, namun dalam surat yang dikirim untuk Ny. Van Kol, ada bicara hukum yang tidak adil, kepalsuan, serta mana yang baik dan buruk. Hal ini, mirip kejadian di Indonesia saat ini. Padahal, surat Kartini sudah ditulis sejak 120 tahun lalu. Miris.
Yah, Indonesia terkini TERUS GELAP, TERBIT GELAP LAGI (TGTGL), bukan HGTT seperti judul buku yang disematkan oleh Mr. J. H. Abendanon untuk perjuangan Kartini yang terbukti dari surat-suratnya.
Semoga, pada peringatan Hari Kartini (HK) edisi ke-58, Kartini di sana tidak sedih dengan kondisi wanita Indonesia sekarang, sebab kaum emak-emak dibikin antre minyak goreng oleh rezim.