Rakyat terus dijadikan alat legitimasi demi memuluskan segala akal licik. Kata rakyat jadi alibi, jadi media testimoni untuk citra kekuasaan, prestasi elite dan pemerintah, alat isu kapasitas intelektual dan kepemimpinan, via survei yang juga sudah diskenario dan disutradara.
Karenanya, bila logika demokrasi yang benar, segala bentuk tindakan demi rakyat. Keadaannya kini di balik menjadi segala bentuk penyebutan, penamaan, dan pengerahan rakyat demi elite politik. Rakyat kini direduksi menjadi bahan baku politik dalam iklan, pidato, spanduk, poster, talk show. Tetapi tanpa ada realisasinya dalam dunia nyata. Rakyat tetap miskin ilmu, miskin harta, menderita, dan terus merasakan ketidak-adilan.
Demokrasi yang seharusnya, kekuasaan di tangan rakyat, kini bekerja sebaliknya, KEKUASAAN MEMANFAATKAN RAKYAT.
Demos menjadi mitos, karena yang katanya untuk dan atas nama rakyat, wujudnya selalu cerita, khayal, mimpi. Rakyat hanya dan terus dijadikan ALAT demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Rakyat bukan pemegang kekuasaan.
Menjelang Pemilu 2024, ada dua paradigma politik yang bersaing, dalam relasinya dengan eksistensi rakyat.
Rakyat pun tetap dibikin bodoh dan menderita, agar mudah digiring untuk menentukan pilihan politik yang dibikin harus merasa membalas budi. Padahal, apa yang diberikan dalam upaya menggiring dengan iming-iming dan pemberian, juga memakai uang rakyat. Rakyat tak sadar terus dibikin bodoh dan menderita, karena kebodohan dan penderitaan, adalah bahan baku politik itu sendiri sebagai jualan untuk janji-janji agar rakyat tergiring dan masuk perangkap.
Contohnya, dilakukan dengan datang dan berkunjung ke ruang-ruang terpencil, kumuh, sumpek, dan bau, untuk mendengarkan keluhan, keinginan, dan aspirasi mereka. Luar biasa.
Banyak yang terinspirasi
Akibat dunia politik yang selalu mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, kelompok, golongan, partai, dinasti, dan oligarki, rakyat pun jadi ikut-ikutan.Â
Ada perorangan atau kelompok atau grup yang bikin kegiatan sosial dalam bentuk atas nama pribadi atau yayasan, dengan berbagai kedok. Tetapi, dasarnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok atau grupnya dll, karena biar dapat nama, dapat penghargaan, dapat bantuan, dapat sponsor dll.Â
Sayangnya, perorangan atau kelompok atau grup yang bikin kegiatan sosial dalam bentuk atas nama pribadi atau yayasan, dengan berbagai kedok ini, banyak yang tak sadar dan tak mengukur diri, sebab sepak terjang dan dapurnya,, sudah banyak diketahui oleh masyarakat karena memang tak ikhlas dan hanya mencari keuntungan untuk perorangan atau kelompok atau grupnya dll.