Cara Indra Sjafri blusukan mencari pemain timnas handal, adalah sebuah pengakuan individu, bukan federasi, terhadap adanya pondasi pendidikan dan pembinaan sepak bola akar rumput di Indonesia. Ada proses, ada hasil. (Supartono JW.18012022)
Saya kutip ulang, sebuah pernyataan seorang Exco PSSI yang sudah terpublikasi di berbagai media massa dan media sosial:
"Tidak penting itu sebuah proses. Yang paling penting adalah hasil. Apapun latihannya kalau tidak juara, ya belum dikatakan juara. Indonesia sudah enam kali masuk final Piala AFF. Kalau sekarang tetap runner-up, ya bukan prestasi."
Entah sedang ada masalah apa atau sedang terkena masalah apa, sehingga seorang Exco PSSI, malah membikin gaduh persepak bolaan nasional dengan pernyataan, yang menunjukkan kebodohan sendiri, tak mengukur diri.
Mirisnya, pernyataan Exco ini benar-benar sejalan dengan budaya klasik PSSI yang tidak pernah serius mengurus pembinaan sepak bola akar rumput (usia dini dan muda). Maunya prestasi, tapi tak menyentuh dan asing dengan proses.
Mau prestasi, proses ini bagaimana?
Maunya ambil jalan pintas, instan, demi meraih prestasi, tanpa berpikir proses. Tidak mau menanam, tetapi maunya memetik. Sudah jelas, pondasi sepak bola nasional bernama Sekolah Sepak Bola (SSB) tidak pernah diurus dengan serius.Â
Tidak pernah diafiliasi secara tuntas. Tidak jelas kedudukan dan fungsinya di PSSI. Tidak pernah ada turnamen atau kompetisi SSB resmi yang digelar oleh PSSI. Tetapi anak SSB dijadikan bahan untuk kompetisi Piala Suratin atas nama Klub. Anak SSB jadi bahan kompetisi Elite Pro Academy (EPA) dan lainnya.Â
Lantas bagaimana selanjutnya proses pemain jebolan SSB yang bermain untuk Klub? Apakah Klub-Klub di Indonesia dikelola dengan standar yang sama sesuai arah dan tujuan untuk kebutuhan timnas?
Saat Shin Tae-yong (STy) hadir dan mulai menangani timnas, berbagai pihak berlomba menawarkan dan menitip pemain untuk dipilih STy. STy pun bergeming dan hanya memilih yang sesuai kriterianya.
Namun begitu, STy pun kaget, sebab kualitas pemain Indonesia yang ditawarkan kepadanya saat harus meracik timnas, sementara kompetisi di  Indonesia sedang terhenti karena corona, STy pun kaget.Â
Speed (fisik) ternyata menjadi sorotan utama STy, karena semua pemain Indonesia sangat jauh dari standar untuk urusan speed. Berikutnya, STy pun menjadi tahu, bahwa urusan teknik, khususnya passing-control, para pemain Indonesia sangat jauh dari harapannya.
Tersimpullah bahwa STy adalah pelatih timnas Indonesia pertama yang sangat tegas menyorot kelemahan speed (fisik) dan teknik (passing-control) pemain yang bahkan sudah ditawarkan masuk timnas. Sementara di luar teknik dan speed, pemain Indonesia juga jelas sangat jauh dari standar intelegensi dan personaliti yang tidak diungkap oleh STy.
Jadi, selama ini, sebelum STy datang, siapa yang bertanggungjawab terhadap masalah Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed (TIPS) pemain SSB, Klub, hingga timnas? Dari mana pembenahan awal TIPS pemain dimulai? Di mana pondasinya? Apakah selama ini.diurus oleh PSSI? Apakah Klub kemudian membina TIPS pemain dengan benar?Â
Hingga saat ini pun, belum pernah terpublikasi, PSSI punya acuan standar pemain yang layak masuk timnas di semua kelompok umur. Sampai-sampai para pelatih timnas ada yang sok-sok-an bikin standar pemain timnas sendiri tanpa acuan standar keilmuan atau akademis.Â
Apakah para Exco PSSI termasuk Haruna memikirkan proses semacam itu? Ini malah tahu-tahu bicara prestasi. Apa yang dibicarakan justru menunjukkan kebodohan sekaligus jadi pertanyaan. Seorang seperti itu, bisa jadi Exco PSSI?
Bila akhirnya ramai tagar #HarunaOut, sangat wajar dan layak. Bahkan sangat pada tempatnya, saat Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai kritik Haruna kurang bijak karena menganggap prestasi lebih penting dibandingkan proses.
"Kami menilai pandangan anggota Executive Committee (Exco) PSSI, Haruna Soemitro, jika dalam pembinaan sepak bola, prestasi lebih penting daripada proses merupakan pandangan kurang bijak. Cara pandang seperti inilah yang selama ini kerap mewarnai kebijakan federasi sepak bola Indonesia," kata Syaiful kepada wartawan, Selasa (18/1/2022).
Munculnya cara pandang Haruna, mempertegas bahwa kebijakan sepak bola di Indonesia selama ini memang dilakukan secara instan sehingga dasar-dasar pembinaan sepak bola tidak pernah diperhatikan.Â
Apakah para Exco PSSI yang lain juga menguasai ilmu pendidikan dan pembinaan? Menguasai pedagogi? Bila tidak, pantas pondasi timnas terus terabaikan, prestasi timnas Indonesia tidak ke mana-mana, tapi menuntut orang lain bikin prestasi untuk PSSI. Bagaimana?
Parahnya lagi, Exco yang bikin gaduh adalah orang lama di dunia sepak bola Indonesia. Dengan cara pandang seperti ini maka banyak kebijakan sepak bola Indonesia yang dilakukan dengan model instan. Gonta-ganti pelatih, bikin proyek pembinaan di luar negeri, hingga melakukan naturalisasi pemain.
Sampai kapan dasar-dasar pembinaan sepak bola seperti adanya kompetisi usia dini, sistem rekrutmen yang bebas tekanan, kurikulum pembinaan sepak bola yang seragam hingga pelaksanaan kompetisi tertinggi yang bebas kecurangan tidak pernah benar-benar diperhatikan?Â
Sadar, bangun! Sepak bola Indonesia sudah jauh ketinggalan dengan Thailand dan Vietnam jika dilihat dari tingkat Asia Tenggara. Malaysia, Singapura, Myanmar saja mengangkangi ranking FIFA Indonesia.
Lihat, meski tertinggal dari Thailand dan Vietnam, berkat kecerdasan, ketegasan, kejujuran, dan keberanian  STy, timnas mampu lolos ke partai final dan meraih posisi runner up, meski timnas diisi oleh mayoritas pemain muda yang rata-rata umurnya masih kisaran 23-27 tahun.Â
Siapa yang mendidik dan membina para pemain muda itu? Apakah hasil dari pembinaan PSSI?
Seharusnya para Exco dan PSSI terbuka mata serta malu. Timnas diisi oleh para pemain muda yang pondasinya justru ditempa di SSB. Lalu, klub dan PSSI tinggal memetik.Â
Enak sekali, tanpa membina dan mendidik, tapi tinggal memakai tenaga pemain yang dibina dan didik oleh para pembina sepak bola akar rumput yang berdarah-darah. Â Tidak pernah jelas fungsi dan kedudukan SSB itu, tetapi hasilnya tinggal pakai. Gratisan lagi. Adakah rasa malu, itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H