Cuitan karena pekerjaan atau sekadar hobi, tetap menunjukkan seberapa cerdas intelegensi dan personaliti karakter diri. (Supartono JW.2912202)
Handphone atau seluler saya, sengaja disetting terhubung menerima notifikasi media sosial (medsos). Luar biasa, medsos bernama Twitter, kini saya sebut telah beralih fungsi menjadi media untuk mempertunjukkan individu-individu di Republik ini, sebagai manusia yang bukan lagi manusia.
Mudah diidentifikasi, tapi dibiarkan?
Saya pun dapat dengan mudah mengidentifikasi individu yang terus baik air bah, menggelontorkan cuitan rasisme, radikalisme, kebencian, hujatan, caci-maki, sumpah serapah, dan sejenisnya plus ditambah cuplikan berita, gambar, foto, video, karikatur, dan lainnya yang benar-benar sengaja di cuitkan demi menarik simpati pihak yang pro, satu gerbong dan memancing kemarahan pihak yang kontra terhadap obyek cuitannya di gerbong lain.
Herannya, mengapa para pencuit itu masih dibiarkan bebas berkeliaran di negeri ini? Terus bercuit tanpa melihat dirinya sendiri itu siapa? Dan tak pernah berpikir bahwa cuitannya benar-benar mendatangkan kemudaratan, memecah belah bangsa, suku, dan agama, menebar kebencian dan permusuhan tak berujung, hingga negeri ini, kini sangat dekat dengan disintegerasi bangsa.
Wahai pemimpin di negeri ini, mengapa para pencuit itu masih bebas bercuit? Apakah benar, para pencuit itu makan dari jerih payah bercuit? Kebal hukum dan dilindungi oleh pemerintah yang sedang berkuasa?Â
Naskah dan penyutradaraan mudah dibaca!
Apa pun naskah, skenario, hingga penyutradaraan yang diperankan oleh para pencuit penabur kemudaratan umat, bila benar itu dari pihak yang berkepentingan di negeri ini, rakyat Indonesia sudah cerdas dan mampu memahami sandiwara, intrik, taktik, dan politik yang saya sebut murahan.
Sebab, sebagian besar rakyat Indonesia yang sudah cerdas, tak akan mudah diprovokasi, terprovokasi, dipengaruhi, terpengaruhi dan sejenisnya oleh cuitan murahan yang hanya settingan dan sandiwara.
Bercuit mengangkat fakta atau berita yang belum tentu kebenarannya, lalu dijadikan bahan gorengan untuk menjatuhkan dan mendiskreditkan pihak yang berseberangan. Atau bercuit dengan opini pribadi untuk memperkeruh keadaan, mencari simpati dan empati hingga terkesan sedang meminta kursi, tapi tetap tak kunjung diapresiasi dan dihargai. Kasihan.
Pertanyaannya, benarkah para pencuit sejati yang terus berperan menjadi aktor penyebar kemudaratan tapi dibungkus kemaslahatan itu, pekerjaannya memang dibayar untuk mencuit? Atau mencuitnya sekadar hobi?