Kendati almarhum Taufik baru mentas di Liga 3 Zona Riau, bukan pemain nasional, bukan pemain Liga 1 atau Liga 2, tetap saja Taufik adalah anak bangsa yang sama-sama berprofesi sebagai pesepak bola.
Seharusnya, tetap ada simpati-empati dan respek dari segenap stakeholder sepak bola nasional. Di media sosial sudah banyak ucapan turut berduka dari berbagai Klub Liga 1, 2, 3, hingga penggiat sepak bola akar rumut, pun ucapan duka dari publik sepak bola nasional.Â
Sayang, respek dan simpati ternyata tak nampak dari para penggawa timnas Indonesia yang bertanding melawan Singapura, dan hampir bersamaan tim Liga 2 juga bertanding lanjutan Babak 8 Besar di Stadion Wibawa Mukti dan Stadion Pakansari, pun tak memberikan simpati, yaitu dengan mengenakan pita hitam di lengan pemain sebagai tanda duka cita.
Seharusnya, ada pihak yang mengingatkan, para pemain mengenakan pita hitam sebagai ucapan simpati sekaligus pengingat, bahwa nyawa para pemain timnas atau Liga 2 dan tim-tim lainnya, juga sangat rentan terancam bahaya, nyawa dapat melayang seperti terjadi pada Taufik, akibat permainan sepak bola yang brutal dan keras.
Masih lekat dalam ingatan saya, tiga tahun lalu, pita hitam menghiasi lengan para pemain tim nasional U-16 saat menjalani pertandingan terakhir putaran Grup A Piala AFF U-16 melawan Kamboja di Stadion Delta Sidoarjo, Senin (6/8/2018).
Pita hitam itu sebagai bentuk simpati untuk korban tragedi bencana alam gempa bumi dengan kekuatan 7,0 SR menewaskan lebih dari 90 orang di Lombok.
Timnas U-16 asuhan Fakhri Husaini pun tak hanya memakai pita hitam. Sebagai tanda duka, mereka juga mengheningkan cipta sebelum berlaga. Saat itu, Fakhri juga berbicara kepada media massa bahwa memakai pita hitam dan mengheningkan cipta adalah salah satu caranya dalam membina serta melatih anak-anak asuhnya untuk memiliki rasa respek dan simpati di luar sepak bola.
Pasalnya, rasa respek dan simpati tidak harus melulu di dalam persoalan sepak bola baik di dalam mau pun di luar lapangan serta terhadap tim lawan, tetapi juga harus tertanam dan tumbuh di hati para pemain muda rasa respek dan simpati pada persoalan kehidupan nyata, seperti terhadap duka bencana alam.
Mengapa saat sepak bola nasional berduka, sebab salah satu pesepak bolanya meninggal akibat kebrutalan oleh sesama pesepak bola, seprofesi, tetapi tidak ada pita hitam dan hening cipta oleh timnas dan Klub Liga 2 maupun Liga 3? Anak seusia U-16 tahun saja sudah dibina dan didik untuk respek dan simpati kepada bencana alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H