Tetapi pemimpin malah semakin egois, Â mengokohkan etos, rasa percaya diri yang berlebihan, kalau perlu dia selalu berada di garis terdepan, dan bila memungkinkan akan terus tampil sebagai seorang kharismatik, karena ambisi pribadi.
Akibatnya, banyak contoh, sebuah badan gagal, gulung tikar, mati suri, bangkrut, mati, tutup karena pemimpinnya tak lagi berdaya. Sebab, selama memimpin yang ada hanya menonjolkan diri sendiri, mencari nama sendiri, tak ada regenerasi, tak ada delegasi, tak ada pemberian kesempatan kepada SDM di dalamnya untuk berkembang, maju, bahkan untuk belajar mandiri.
Pemimpin yang menonjolkan diri sebagai pahlawan, di negeri ini juga diteladani oleh para pemimpin partai politik yang hidupnya hanya berkutat dengan memperpanjang dinasti politik, oligarki, dan ambisi tahta, kekuasaan, dan harta.
Karena itu, kini di negeri ini bertebaran pemimpin yang merasa sebagai pahlawan.Â
Hanya dirinya yang selalu muncul dalam pemberitaan media massa, media sosial, sampai nampak narsis memajang foto sendiri, memuji diri sendiri, dan membanggakan diri sendiri, dikira keberhasilannya itu sulapan dan tanpa dukungan orang lain. Bahkan sering merendahkan orang lain seolah dirinya yang paling hebat dan paling sudah berbuat untuk badan atau negeri ini.
Kasihan sebenarnya melihat sosok macam begitu. Selalu berupaya meninggikan diri sendiri, tanpa sadar bahwa sejatinya, itu mempermalukan dirinya sendiri. Ke mana para penasihat pemimpin yang sok pahlawan itu? Atau memang tak punya penasihat dan tak ada cermin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H