Lebih ironis, nafsu keserakahan dan ambisi kekuasaan pun ditunjukkan tanpa rasa malu di hadapan rakyat, meski kondisi rakyat sangat menderita akibat skenario dan penyutradaraan mereka. Bahkan tanpa malu dan mengukur diri, menjadikan seantero negeri ini menjadi seperti milik mereka sendiri. Mereka sangat takut kehilangan yang bukan milik mereka.
Sejatinya melihat fakta dan fenomena tentang ketakutan kehilangan, keserakahan dan ambisi mereka, rakyat jelata sudah malas meski untuk sekadar komentar kecil. Pasalnya, rakyat jelata tahu, bahwa saat para ahli, akademisi, dan berbagai pihak di negeri ini telah memberikan kritik, masukan, saran, hingga teguran, mereka akan tetap saja menjalankan aksi sesuai skenario dan penyutradaraannya. Dan, selalu punya jawaban ngeles yang sebenarnya dangkal, tapi seolah paling hebat dan benar.
Bila dikalkulasi, sebelum corona datang, sudah ada berapa masalah yang dibikin mereka dan mendapat perlawanan rakyat. Lalu, kira-kira mana kebijakan dan aturan yang dipermasalahkan kemudian ditiadakan, dibatalkan karena akhirnya mendengarkan keluhan dan jeritan rakyat?
Lalu, saat pandemi corona datang? Kira-kira ada berapa masalah yang mereka bikin? Ada berapa kebijakan dan aturan yang tetap tak pernah mendengarkan rakyat? Sampai-sampai alat tes corona pun menjadi lahan bisnis dan harganya mahal. Pun tak pernah ada audit?
Mirisnya, apa pun masalah yang dibikin, apa pun kebijakan dan aturan yang diteriaki rakyat. Mereka selalu piawai ngeles. Bahkan ada bersembunyi pada kata-kata kebenaran dan kebaikan. Apakah kebenaran dan kebaikan itu untuk rakyat? Atau untuk diri mereka sendiri?
Ketakukatan kehilangan, ambisi keserakahan dan kekuasaan yang kini sedang dipertontonkan tanpa rasa malu, dilakukan dengan berbagai intrik demi mereka kokoh menjadi penguasa. Ada cara membikin pandemi baliho untuk iklan dan survei. Meski mereka beralasan tak mencari pemimpin survei. Tak ada kaitan dengan 2024.
Cara lain pun di tempuh di parlemen dengan upaya membikin kekuasan tiga periode. Nampaknya memang itulah sandiwara yang sengaja digelontorkan dengan itikad aji mumpung. Mumpung masih menguasai maka semua cara mereka halalkan sendiri. Tak peduli rakyat sedang hidup di bikin susah oleh mereka juga.
Ingatlah, bila tak sakit mata dan tak buruk hati, maka warna hitam akan tetap hitam. Mustahil dibilang putih. Sebab, yang benar itu sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah, tidak berat sebelah adil, lurus (hati), dapat dipercaya (cocok dengan keadaan yang sesungguhnya), tidak bohong, sah, sangat, sekali, dan sungguh.
Dan, yang baik itu elok, patut, teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dan sebagainya), mujur, beruntung, berguna, tidak jahat (tentang kelakuan, budi pekerti, keturunan, dan sebagainya), sembuh, pulih, selamat (tidak kurang suatu apa), selayaknya, dan sepatutnya.
Jadi, mengapa harus takut kehilangan yang bukan milik? Harus tutup mata dan hati mempertontonkan keserakahan dan kekuasaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H