Salah kaprah tentang pemahaman mendidik, membina, hingga mengejar prestasi dalam dunia olah raga khususnya sepak bola, kini terasa semakin masif. Sehingga masyarakat dan publik sepak bola nasional terus disuguhi masalah benang kusut sepak bola nasional di berbagai ranah, mulai dari akar rumput hingga tim nasional.
Alih-alih para pemain muda terdidik dan terbina dengan benar, di tangan pembina dan pelatih yang tak menguasai pedagogi (kognitif, afektif, psikomotor), justru banyak pemain muda yang mentalnya jatuh hingga berpengaruh pada pertumbuhan jiwa dan fisiknya.
Mendidik, membina, prestasi
Lalu sebatas mana masyarakat khususnya para Pengurus Asosiasi Sepak Bola, Pengurus Klub, Pengurus SSB/Diklat/Akademi Sepak Bola, hingga para pembina, manajer, dan pelatih memahami  makna mendidik, membina, hingga mengejar prestasi?
Mendidik adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Lalu, membina bermakna membangun, mendirikan, mengusahakan supaya lebih baik (maju, sempurna, dan sebagainya). Dan, prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya).
Berdasarkan makna mendidik, membina, dan prestasi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam ranah sepak bola, maka mana wadah yang harus mendapat asupan didikan dan binaan? Mana wadah yang target akhirnya prestasi?
Seluruh wadah sepak bola mulai dari akar rumput wajib mendapat asupan pendidikan. Namun, wadah sepak bola akar rumput, ruang lingkupnya baik di tingkat daerah, nasional, hingga internasional adalah pembinaan, bukan target prestasi.
Sementara tim sepak bola tingkat kota/kabupaten/provinsi/nasional/klub, jelas targetnya adalah prestasi. Tetapi dalam faktanya, dalam sepak bola di Indonesia, dunia menjadi terbalik.
Di sepak bola akar rumput, sebab banyak pembina, pelatih, dan orang tua yang tak paham pedagogi dan dunia pendidikan, arahnya malah jadi kejar prestasi, bukan pembinaan.
Sebaliknya, di tim tingkat kota/kabupaten/provinsi hingga timnas yang sewajibnya mutlak kejar prestasi, jadi ajang tim pembinaan dan tim titipan. Pembina dan pelatih di sektor ini, masih tak dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, dan ujungnya, pembina dan pelatih di level ini banyak yang tak sadar telah membunuh mental pemain karena tak bisa tegas dan ambil sikap karena adanya kepentingan.
Buntutnya, bila Wali Kota/Bupati/Gubernur, berharap tim daerah yang dipimpinnya berprestasi di kejuaraan antar kota/kabupaten/provinsi, hanya jadi mimpi. Ada pemain berbakat dan berkompeten di daerah bisa tak masuk tim daerah karena sistem seleksi atau tergantung siapa gerbong pembina dan pelatihnya, hingga siapa pemain yang direkrutnya. Kejadian ini, juga sama di timnas. Lihat contoh teranyar.