Pernahkah Anda mengalami kekecewaan dan marah yang sangat-sangat kepada orang yang mengabaikan, menyepelekan, meremehkan, menganggap enteng, memperkeruh suasana, bikin kisruh, tak peka, tak empati, tak simpati, tak peduli, tak tahu diri, tak rendah hati, dan sejenisnya, atas aturan, komitmen, janji, kedisiplan dan lainnya yang terkait dengan Anda? Tentu pernah, kan?
Mengapa ada orang yang mengabaikan, menyepelekan, meremehkan, menganggap enteng dan sejenisnya, atas aturan, komitmen, janji, kontrak, kedisiplan dan lainnya, padahal sudah disindir secara halus. Dikasih tahu puluhan kali. Sudah diinfo lisan dan tulisan puluhan kali juga, tetapi tetap tidak masuk hati dan otak juga?
Bila hal tersebut terjadi di lingkungan keluarga/pertemanan/persahabatan/sekolah/kampus/lingkungan kerja/instansi/dalam perkumpulan/grup/lainnya hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu akan membahayakan dinamika hingga keutuhan keluarga/pertemanan/persahabatan/sekolah/kampus/lingkungan kerja/instansi/dalam perkumpulan/grup/lainnya hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu wajib ada tindakan logis dan empiris (berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan, agar hal tersebut terhenti, setop. Tidak semakin parah dan kembali ke relnya.
Kisah wartawan
Selama puluhan tahun, saya mengalami kejadian semacam itu di kelas-kelas pembelajaran dan berbagai tempat lainnya. Saat kejadian tersebut terjadi di ranah dunia pendidikan, atau tempat lainnya, maka saat ada kejadian siswa/guru/orang lain dll mengabaikan, menyepelekan, meremehkan, menganggap enteng, memperkeruh suasana, bikin kisruh, tak empati, tak simpati, tak peduli, tak tahu diri, tak rendah hati, dan sejenisnya, maka saya praktikkan teori tentang marah tingkat tinggi dan marah tingkat rendah, dengan sebelumnya memberi tahu, menginformasikan, dan mensosialisasikan apa itu marah tingkat rendah dan marah tingkat tinggi secara logis dan empiris.
Marah tingkat rendah adalah marah yang didukung oleh ekspresi  bahasa tubuh, dan suara yang keras atau volume tinggi=100 dan kata-kata yang kasar.
Sementara marah tingkat tinggi adalah marah dengan diam. Tanpa ekspresi, tanpa suara, volume=0.
Teori ini saya dapatkan dari diskusi santai  dengan salah satu suhu teater Indonesia di tahun 90an. Kisahnya ada wartawan senior yang bila suatu saat dia diam saat memimpin rapat d ruang kerjanya, maka rekan kerja lainnya paham, bahwa wartawan ini sedang sangat marah atas kondisi di lingkungan pekerjaan yang dipimpinnya.
Menariknya, cara marah dengan diam dipilih oleh wartawan senior ini, karena dia paham rekan kerjanya adalah orang-orang yang cerdas intelegensi dan emosi, jadi paham kalau dia sedang marah. Tak perlu pakai suara dll.
Namun, suatu ketika, wartawan ini di divisi lain sedang bicara dengan keras, ada kata-kata kasar, dan sangat jelas ini termasuk kategori marah yang hebat.
Dari dua kejadian tersebut, maka wartawan senior ini ternyata mempraktikkan dua teori marah yang berbeda di tempat yang berbeda pula, yaitu melakukan marah model marah tingkat tinggi dan rendah.