Dalam pidato Peluncuran Program Literasi Digital Nasional (PLDN), yang ditayangkan kanal You Tube Sekretariat Presiden, Kamis (20/5/2021) Presiden Jokowi menyebut bahwa konten negatif terus bermunculan, kejahatan di ruang digital terus meningkat, hoaks, penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian, hingga radikalisme berbasis digital perlu terus diwaspadai.Bila Jokowi sampai khusus menyebut ada sejumlah ancaman di ruang digital, dan meminta publik mengisi ruang digital dengan konten yang positif, pertanyaannya, mengapa baru sekarang hal tersebut diungkap.
Padahal selama ini ruang digital justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di negeri ini, dengan isi hal-hal negatif yang memang sudah diskenario pihak tertentu dengan tujuan menggiring opini publik agar terperangkap di dalamnya.
Mengapa PLDN baru dibuat sekarang, setelah ruang digital malah menjadi sarang pihak tertentu untuk bermain intrik, taktik, politik?
Apakah PLDN juga dimaksudkan untuk menekan para influenser dan buzzer yang juga diciptakan oleh pihak tertentu itu? Pun dengan tujuan mengalihkan isu?
PLDN untuk siapa?
Sejatinya, peluncuran PLDN menjadi angin segar bagi dunia pendidikan nasional pada khususnya dan kehidupan humaniora di Indonesia pada umumnya.
Pendidikan Indonesia yang terus terpuruk dan tercecer bahkan di Asia Tenggara, titik benang kusut terbesarnya adalah pada masalah membaca, literasi mulai dari mulai anak-anak usia dini hingga orang dewasa.
Sehingga bangsa ini terus menjadi bangsa yang mulai dari rakyat jelata hingga para pemimpin bangsa terus menggunakan cara dan pola berpikir parsial dan deduktif dalam melangkah di berbagai hal dan bidang.
Ironisnya, tatkala dalam situasi normal saja terus terpuruk dan tertinggal dalam membaca dan literasi karena sebabnya juga sangat kompleks terutama karena kegagalan dalam dunia pendidikan formal, masyarakat yang semakin jauh dari kompeten dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan karena gagal dalam literasi yang berakibat, tak terasah dan tak berkembangnya kecerdasan intelegensi dan emosi, pun tak kuasa membendung kemajuan zaman khususnya dunia maya dan digital.
Akibatnya, masyarakat benar-benar terjun bebas terperangkap dalam dunia maya dan digital yang persiapan keilmuan dan pengalamannya tak cukup.
Pendidikan literasi di dunia formal gagal, imbasnya lemah kecerdasan intelegensi dan emosi, sebab asupan keilmuan dan pengalaman berbagai hal menyangkut kehidupan tak mampu mengisi ruang kognisi, ruang afektif, dan ruang psikomotor masyarakat.