Persoalan juga semakin diperburuk oleh kondisi, selama ini para operator pendidikan hanya menjadi pelaksana juklak yang dibikin legislator (kurukulum). Terpenting melaksanakan sesuai dengan yang diminta dan dimaui.
Sehingga operator yang terutama diisi para guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi, terkungkung dan tak bisa berpikir out of the box atau berpikir di luar kotak. Akibatnya macetlah pengembangan berpikir tajam, kritis, dan kreatif-inovatif. Siswa dan mahasiswa pun macet ISEAKI. Apalagi masyarakat umum.
Lihat bagaimana fenomena masalah larangan mudik. Yang bikin peraturan perlu dievaluasi ISEAKInya. Masyarakat pun bisa diukur ISEAKInya.
Bahkan, saat saya coba ricek grup-grup media sosial anak-anak usia sekolah, di saat Idul Fitri di tengah pandemi, anak-anak ini pun jarang yang mengucapkan mohon maaf di grup maupun saling kirim di jaringan pribadi. Padahal itulah sarana yang paling utama di tengah pandemi untuk menjalin silaturahmi. Dan, anak-anak bahkan dengan gawai sangat lengket.
Ini perlu di teliti. Sebab, Â sangat memprihatinkan. Ini degradasi moral. Dan, anak-anak jauh sekali dari ISEAKI yang diharapkan. Bahayanya lagi, sikap antipati atau seenak sendiri ini akan menjelma menjadi pribadi yang tak peduli, tak tahu diri, tak empati, tak simpati, tak rendah hati.
Pertanyaanya, ke mana dan apa arahan orang tua di rumah tentang pentingnya bersilaturahmi?
Inilah kegagalan beranak pinak di +62. Dunia formal gagal mendidik, nonformal pun tak berkutik. Mau jadi apa generasi beranak-pinak kita? Sementara para elite partai dan para pempimpin bangsa terus asyik dan sibuk sendiri dengan tahta, kekuasaan, kepentingan, KKN, hingga oligarki.
Sudah jelas dan terukur, pendidikan Indonesia gagal di membaca-literasi, dan sains. Maka, karena malas membaca akibatnya berdampak pada penguasaan ilmu pengetahuan, juga ilmu humanisme, pengetshuan umum, dll, sehingga perkembangan intelegensinya, sosialnya, emosionalnya terganggu.
Sudah begitu tak menguasai matematik dan mengantar pada lemah dalam kalkulasi dan analisis. Lemah dalam logika pun berpikir yang logis, sistematis, dan ilmiah. Lihat kasus mudik. Lihat kasus perseteruan tak berujung sisa Pilkada dan Pilpres. Itulah buktinya.
Akumulasinya, tak lahir sikap dan pemikiran kreatif-imajinatif-inovatif. Sementara masalah iman juga dipertanyakan.
Untuk itu, dari setiap kita, boleh merefleksi keadaan diri kita. Hingga seusia kita, bagaimana kondisi ISEAKI kita saat ini. Mana, yang sudah kuat dan harus dipertahankan. Mana yang masih lemah dan harus ditingkatkan.