Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hardiknas Ke-62, Mengapa Bukan Merdeka Mendidik, Merdeka Dididik?

1 Mei 2021   19:19 Diperbarui: 1 Mei 2021   19:34 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya juga mengungungkap: "Guru dalam arti sebenarnya pencetak penerus bangsa,  juga terus berkutat pada masalah yang sama. Terlebih guru-guru yang digaji dari uang rakyat alias Pegawai Negeri Sipil (PNS), mau gajinya besar, tapi tidak sebanding dengan kinerjanya."

"Jarang kita mendengar ada gaji guru PNS turun atau dipotong, kendati kerja dan gaji tak sebanding. Faktanya persoalan pendidikan apalagi menyangkut guru, selalu berputar di hal-hal yang sama, masih jauh dari kemampuan standar pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional, miskin kreativitas dan inovasi, meski kini sudah zaman apa."

Dari apa yang sudah saya ungkap tersebut, ternyata masalah kegagalan pendidikan di Indonesia tak sesederhana apa yang dipikirkan Nadiem. Dan, berpikir para guru, peserta didik, serta orang tua harus bahagia dalam masalah belajar, hingga dicetuskan Merdeka Belajar.

Lalu, sekarang diberikan motivasi yang menjadi tema peringatan Hardiknas 2021, Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar.

Bagaimana bisa serentak bergerak, bila guru, kurikulum, sarana, dan hal lain menyangkut pendidikan masih banyak yang jauh dari standar?

Berpikir serentak bergerak itu harus dipikirkan secara komprehensif, bukan parsial, apalagi sekadar coba-coba. Pahami dulu secara mendalam apa yang menjadi problem utama hingga pendididikan terus terpuruk.

Selama ini, satu di antara kegagalan pendidikan, karena paradigmanya, guru itu mengajar, jadi peserta didik tak terdidik. Hasil didikan itu karakter dan budi pekerti. Sementara, peserta didik yang belajar sungguh-sungguh atau serius saja banyak yang gagal. Bagaimana bisa belajar dengan fokus bahagia dapat menginjeksi siswa berhasil dalam pendidikan. Yang ada jadi main-main.

Belajar dan mendidik

Dan, mengapa Merdeka Belajar. Selama ini pendidikan kita gagal karena kata belajar, bukan mendidik. Seharusnya Merdeka Mendidik, Merdeka Dididik. Lalu, kalau mau dibuat Merdeka Mendidik, Merdeka Dididik dilakukan serentak, cek dulu, apakah semua sudah siap. Sudah setara, tidak ada yang pincang, tidak ada yang masih terbelakang? Apakah semua sudah lulus standarnya?

Pak Nadiem, tolong di ricek ya, mungkin maksudnya Merdeka Mendidik, Merdeka Dididik. Ingat, Bapak Ki Hajar Dewantara, di sana masih memperhatikan Indonesia, lho.

Meski demikian saya setuju, belajarlah dengan main-main, tapi berhasil, dibanding belajar terlalu serius dan gagal, karena di dalamnya tak ada didikan. Jadi, kegagalan pendidikan kita, karena guru masih terus mengajar, bukan mendidik. Peserta didik hanya diajar, bukan dididik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun