Sekolah Sepak Bola (SSB) fungsi utamanya adalah tempat belajar untuk bermain sepak bola bagi anak usia dini dan muda.Â
Fungsi lainnya, karena ada kata sekolah, maka tak akan lepas dari urusan edukasi yang di dalamnya ada kurikulum, pendidikan, pembinaan, dan pelatihan, yang ujungnya melahirkan anak-anak cerdas dan pandai bermain bola, serta cerdas dalam kehidupan nyata, tertancap kuat pondasi bagaimana seharusnya anak-anak menjadi memiliki sikap peduli, simpati, empati, tahu diri, berbesar hati, hingga rendah hati. Menjadi cikal bakal, generasi penerus bangsa yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur.
SSB dibiarkan liar
Namun, karena hingga kini belum lahir regulasi yang baku menyoal SSB dan tatanannya di Indonesia yang semustinya telah dilahirkan oleh federasi resmi bernama PSSI, maka benang kusut SSB semakin menjadi. Hingga dapat saya simpulkan, sampai saat ini, SSB masih menjadi tempat main-main para pengurusnya, pembinanya, pelatihnya, Orang Tua, dan siswa, tak sesuai nama dan kualifikasinya.
Minat anak-anak di dunia umumnya, dan Indonesia khususnya terhadap sepak bola dan SSB yang begitu besar, terlebih di Indonesia, anak-anak lebih suka bermain sepak bola, ketimbang sekolah formal  seharusnya dapat diakomodir dengan benar dan tepat.Â
SSB di jalur nonformal, sangat representatif  dapat menjadi alternatif mendukung pendidikan di jalur formal yang terus terpuruk, seharusnya hal ini terdeteksi dan terbaca oleh stakeholder terkait terutama Kemendikbud, Kemenpora, dan PSSI sendiri.
Pasalnya, baik sebelum pandemi corona datang maupun kini telah menclok corona di dunia dan Indonesia, nyatanya SSB sebagai wadah pembinaan sepak bola akar rumput (grassroots) Indonesia, terus diminati dan dibanjiri anak-anak untuk menjadi siswanya.
Mustahil fenomena ini tak terbaca oleh stakeholder terkait yang saya sebut. Sayang, SSB di jalur nonformal yang sangat diminati anak-anak Indonesia dan dapat dijadikan partner  pendidikan formal yang menampung anak-anak Indonesia di usia sama, dan terbukti pendidikan formal masih gagal, ternyata SSB pun dibiarkan liar. Sampai-sampai pihak swasta malah yang tergerak hati mengakomodir hingga membikin kompetisi.
Tak terbayang bila SSB tak dibiarkan liar, diurus dengan benar oleh PSSI dan stakeholder terkait, maka anak-anak Indonesia di akar rumput, yang notabenenya adalah pondasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan menjadi penerus cita-cita pahlawan yang telah melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan kolonialisme, dan menjadi andalan bangsa dan negara di masa depan di segala bidang, sewajibnya mendapatkan pendidikan dengan benar di jalur formal dan nonformal.
76 tahun dan 22 tahun, bermasalah
Kini, meski Indonesia menjelang usia ke-76 tahun dan sudah ada 29 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mulai dari Ki Hadjar Dewantara hingga Nadiem Makarim dan berdasarkan catatan saya yang telah terpublikasi dalam artikel di berbagai media, SSB telah bergaung menjelang 22 tahun sejak pertama di apungkan pada tahun 1999 oleh PSSI di bawah Agum Gemelar dan Pembina Usia Muda di bawah Ronny Pattinasarani, nyatanya dunia akar rumput atau anak-anak PAUD di Indonesia terus bermasalah baik di sekolah formal maupun SSB.