Sekolah dan masyarakat gagal bentuk budi pekerti
Sebelum corona hadir, sekolah pun gagal membentuk para siswa berbudi pekerti luhur dengan fakta setelah para siswa lulus menjadi orang dewasa dan menjadi mssyarakat pada umumnya, masalah dan keluhan tentang nilai-nilai kehidupan pun terus menggaung, yaitu terus rendah dan menipisnya sikap peduli, simpati, empati, tahu diri, sopan-santun, etika, karena tak terbentuk karakter rendah hati dan luhur budi. Gagal dalam perkembangan ISEAKI, dan terus diteladani oleh para pemimpin negeri dan para elite yang tak amanah.
Anak-anak hingga orang dewasa, terdidik atau tidak terdidik, kini semua memegang gawai. Malah, jumlah gawai di Indonesia lebih banyak dari jumlah penduduk di Indonesia. Mereka semua berbaur dalam masyarakat yang sama, grup sosial yang sama, grup medsos yang sama. Bagaimana tidak terjadi kekacauan secara intelektual dan sosial?
Maka, tak salah bila warganet atau netizen Indonesia sesuai hasil survei yang pernah dipublikasi menjadi warganet atau netizen terburuk bahkan di Asia Tenggara.
Sudah begitu, jejak penjajah yang sengaja membikin rakyat Indonesia tetap bodoh agar mudah dikibuli dan terus dijajah, pun kini banyak diwarisi oleh pemimpin di +62.
Mereka butuh suara rakyat demi dapat kursi kekuasaan, dengan cara menggiring opini, karena tahu masih banyak rakyat yang mudah dibodohi dan ditunggangi. Lahirlah buzzer dan influenser. Sebelumnya, masyarakat yang cerdas juga sudah tahu, adanya lembaga survei yang sekadar cari keuntungan pribadi, itu bekerja untuk kepentingan siapa tergantung siapa yang membayar.
Lihat, bagaimana Kamus Sejarah Indonesia? Parah dan akhirnya ditarik. Apa maksudnya, apa tujuannya, Kamus sampai diselewengkan! Sebelumnya, bagaimana ada orang yang tak tahu malu mengkudeta partai? Dan, lihat bagaimana kisah reshuffle kabinet terus menjadi gawean, karena hanya menjadi wadah bagi-bagi jatah kursi kekuasaan elite partai, bukannya kursi itu diduduki oleh orang yang berpengalaman, kompeten, dan profesional di bidangnya. Hanya bagi-bagi kursi dan uang rakyat dan tak penting bagaimana ISEAKI yang diberikan tanggungjawab dan amanah. Inilah akibat yang diterima rakyat, terus menderita dan jadi korban kebijakan yang tak sesuai amanah Pembukaan UUD 1945.
Rasanya, meski sudah mau berusia 76 tahun setelah merdeka, bila Indonesia masih dikelola dengan cara seperti sekarang, malah terus ada yang mengendalikan dan menyutradarai, dan dunia pendidikan dan agama terus menjadi ranah yang tak pernah menuai perdebatan, maka jangan harap anak-anak yang tak tahu singkatan SD dan orang dewasa yang tak tahu akronim narkoba dan singkatan SPBU bertambah sedikit.
Nilai PISA pun akan terus konsisten terpuruk, tawuran pelajar atau suporter sepak bola akan masih laku, predikat warganet terburuk bisa kekal, nawa cita lahirnya manusia Indonesia berkarakter, berbudi pekerti luhur dan rendah hati hanya sekadar mimpi.Â
ISEAKI pada setiap individu manusia, wajib menancap kuat dan menjadi pondasi yang proses dan pembentukannya benar. Sayang, yang di jalur formal masih tak tergarap dengan benar, apalagi di jalur nonformal.
Mungkin, Â bila saya yang ditanya apa singkatan dari SD, tanpa ada awalan dan pengantar menyoal SD, maka saya boleh jawab Susah Diatur dan lainnya. Boleh, dong?