Bak influenser dan buzzer yang belakangan menjadi primadona perbincangan masyarakat karena sepak terjangnya membikin masyarakat antipati, karangan bunga pun kini dijadikan alat penyampai pesan politik.Terbaru adanya karangan bunga di Bandung yang menarik perhatian masyarakat karena ada media massa yang mempublikasikannya.Â
Sebelumnya, karangan bunga selalu dikirim ke beberapa tempat di Jakarta. Masyarakat pun tahu ada karangan bunga yang dikirim ke suatu tempat mendukung seseorang atau kelompok yang posisinya sedang tidak berduka. Namun, semua pesan karangan bunga tersebut justru untuk memberikan dukungan dan kepentingan. Lalu, ada media massa yang berpatner menyebarkan informasinya, sepertinya juga dengan tujuan mencari simpati dan empati masyarakat.
Tetapi masyarakat kini kian paham bahwa karangan bunga-karangan bunga tersebut memang dikirim untuk akal-akalan agar orang atau pihak yang dikirimi karangan bunga mendapat simpati lebih dari masyarakat atas sikap, tindakan, dan perbuatannya.
Sayang, di balik kiriman karangan bunga di negeri ini sudah terbaca hanya sebagai alat politik. Sejak kapan? Sejak perseteruan Pilgub DKI dilanjutkan Pilpres dalam dua periode terakhir. Padahal lazimnya, karangan bunga biasanya terlihat saat ada upacara pernikahan, ulang tahun, peresmian suatu tempat, ungkapan duka cita dan lainnya.
Sebab masyarakat telah paham maksud di balik pengiriman karangan bunga yang hanya demi tujuan politik, dan juga bisa ditebak siapa yang mengirim untuk siapa, mungkin cara-cara mencari simpati melalui karangan bunga perlu disetop.
Jangan dirusak citra dan sejarah karangan bunga dari asal mula lahirnya seni karangan bunga yang bertujuan mulia.
Dari berbagai literasi, karangan bunga berasal dari Mesir sejak 2500 tahun sebelum masehi. Faktnya dapat dilihat pada artefak yang ditemukan oleh arkeolog, ada karangan bunga dalam vas. rangkaian dekorasi dengan bunga juga terlihat dari relief pada mumi, sebagai simbol relijius dan kesucian.
Memang seni karangan bunga terus berkembang ke Yunani Kuno, Kerajaan Romawi, hingga masa Renaissance (tahun 1400 hingga 1600). Kemudian pada abad ke-18, di Belanda, rangkaian bunga digunakan untuk menghiasi rumah-rumah para pejabat dan keluarga kaya. Kebiasaan ini juga turut menyebar di Inggris. Jenis rangkaian bunga yang populer saat itu yaitu "Tussie-Mussie atau Posy". Rangkaian bunga tussie-mussie adalah buket bunga melingkar yang membawa makna simbolis berdasarkan bahasa bunga. Bunga yang diberikan akan mewakili perasaan tertentu.
Ironisnya, memasuki era moderen pada abad ke-20, khususnya di Indonesia, saat rakyat masih terus menderita, untuk makan sehari-hari saja sulit, munculnya elite partai yang tak amanah dan munculnya orang kaya baru (OKB) dengan gaya hidup hedon, mengambil kesempatan dengan menjadikan karangan bunga sebagai alat politik.
Hampir di setiap tempat yang dikirimi karangan bunga sejak Pilgub DKI hingga Pilpres dua periode ini, tidak bertujuan untuk berduka cita atau ucapan bahagia, tapi ucapan dukungan atas kepentingan-kepentingan politik dan sejenisnya.
Coba, ratusan hingga ribuan karangan bunga yang setelah satu hingga dua hari setelah dikirim hanya akan menjadi sampah, bila disatukan akan terkumpul uang berapa rupiah. Dan, berapa rupiah di saat rakyat kesusahan, hanya untuk foya-foya dan hal yang mubazir. Sok-sokan bergaya kaya hanya demi kepentingan kelompok yang rakyat sudah paham maksudnya.
Bahkan, rakyat pun berpikir, ada pihak yang sampai mengirim puluhan karangan bunga seolah pengirimnya berbeda, namun dari pihak dan anggaran yang sama.
Setelah kiriman karangan bunga di suatu tempat di Bandung, apakah akan ada karangan bunga dikirim ke tempat lain hanya sebagai alat politik di negeri ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H