Menariknya, Presiden Jokowi justru telah melaporkan dan menyerahkan sesuatu dari perbuatan gratifikasi kepada KPK yang bernilai miliaran. Namun, tak pernah ada penyerahan gratifikasi oleh para partai politik dan elite partainya. Tidak ada pelaporan dan penyerahan gratifikasi dari para pemimpin daerah yang terpilih di Pilkada 2020 hasil dari pemberian dari para taipan atau cukong.
Artinya, partai politik, elite partai, dan para pemimpin daerah itu tak sekadar dapat gratifikasi dari para pemodal itu, namun bisa disebut mahar atau ikatan kontrak dan kerjasama dan lainnya demi kepentingan yang saling menguntungkan dan amanatnya adalah mengembalikan gratifikasi dalam bentuk lain yang ujungnya para pemimpin ini jadi tak amanah kepada rakyat, tapi amanah kepada para pemodal. Kata lainnya dijajah oleh sikap dan perbuatannya sendiri dan menjadi pemimpin semu yang  menjual harga diri, melupakan martabat diri.
Masyarakat tahu atas semua hal itu. Sayang KPK sepertinya sedang tidak ada di +62, sehingga tak melihat aksi-aksi tak bermartabat yang jauh dari amanah membawa rakyat  tentram lahir batin dan makmur di tanah merdeka yang subur makmur di negerinya sendiri.
Sampai kapan ini akan terjadi? Harus menunggu 2024? Apa setelahnya akan berubah atau sama? Media massa dan media sosial di Republik ini, kini penuh retorika klasik yang terus menjadi benang kusut karena akar masalahnya terdeteksi dan dapat mudah dibaca, namun rakyat bisa apa?
Bahkan dalam beberapa hari ini, saya banyak mendapat pertanyaan. Siapa sih, yang dapat menghentikan semua persoalan ini di Indonesia? Jawabnya kan seharusnya para pemimpin. Tapi para pemimpin justru menjadi akar masalah itu sendiri. Jadi rakyat harus minta tolong siapa? Polusi teladan buruk rasanya sudah mengalahkan polusi udara. Lebih menyesakkan dada.
Tingkat RT saja ada ambisi pemekaran RW
Akibat para pemimpin di atas yang terus meneladani polusi teladan buruk, maka jangan salahkan bila di tingkat Rukun Tetangga (RT) di suatu daerah Indonesia, juga ada yang ikutan membikin gaduh menginisiasi pemekaran RT menjadi Rukun Warga (RW).
Singkat cerita, rencana aksi pemekaran RT menjadi RW ini bertujuan demi kemaslahatan umat, sayang proses dan prosedurnya dari awal sudah tidak tepat. Sebab tidak diawali dari hulu, tetapi tahu-tahu rencana sudah ada dihilir dan mengorbankan atas nama warga demi sebuah kepentingan yang juga mudah dibaca. Perilaku ini persis seperti para pemimpin di atas yang lupa martabat.
Nampak di dalamnya juga kental dengan adanya orang-orang yang menganggap dirinya tokoh masyarakat, padahal sebutan tokoh itu dari masyarakat bukan dari diri sendiri, bukan menyanjung. Inilah kejadiannya, hingga ada peristiwa mirip para pemimpin di atas yang berpikir seolah untuk amanah dan kepentingan warga, namun sejatinya ada kepentingan untuk diri sendiri dan kelompoknya.
Karenanya kurang memanfaatkan kecerdasan Intelegensi dan personalitinya, hingga di tengah pandemi corona, kok berpikir memekarkan wilayah. Benar-benar tindakan yang arogan di saat dan waktu yang tidak tepat. Serampangan, tak berpikir ilmiah, dan seolah tak kompeten literasi apalagi keterampilan berbahasa.
Semoga, siapa saja yang ingin jadi pemimpin di negeri ini, di seluruh Indonesia, mulai dari Ketua RT hingga Presiden, semoga memahami tentang pepatah Jawa itu, sehingga saat menjadi pemimpin, mau Ketua RT, RW, hingga Presiden dapat mengimplementasikan pepatah Jawa tersebut dan amanah. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H