Ada ribut terus sejak kepulangan seorang ulama yang dikaitkan dengan corona dan disintegrasi bangsa. Lalu, digelindingkan berita penangkapan menteri oleh KPK terkait lobster.Kira-kira itu semua memang tak masuk dalam skenario atau memang aslinya sebuah skenario demi pengalihan isu agar rakyat tak tahu bahwa di Republik ini Pilkada sudah di depan mata, penjualan batu bara juga sedang diobral, Ahok juga ternyata sedang masuk sidang, lalu Papua Barat juga malah sudah mengikrakan diri menjadi negara.
Kasus UU Cipta Kerja pun hening, BPJS Kesehatan mau naik, juga ikut hening. Lalu kok pas, menteri yang tertangkap korup dari partai "itu". Bukan partai lain yang rakyat juga tahu, banyak pelaku korupnya. Ini sepertinya memang disengaja, dan rakyat digiring demi memperbaiki citra partai politik lain, pun dengan cara menghancurkan partai politik lawan.
Di sisi lain, seiring sejalan, corona juga terus sulit dijinakkan, bahkan terus dijadikan komoditi politik untuk saling menghujat dan menjatuhkan.
Di bidang pendidikan, para siswa sungguh-sungguh sudah masuk kondisi darurat. Darurat bila belajar terus dengan PJJ. Namun, adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) empat kementerian, agar siswa dapat kembali belajar tatap muka, ujungngnya tetap dengan syarat, bila orang tua siswa setuju. Ini sama saja lempar batu sembunyi tangan. Semua mau lari dari kenyataan. Memberikan kebijakan tanpa solusi, dan menyerahkan keputusan pun dikembalikan ke rakyat. Untuk apa adanya pemerintahan.
Padahal belajar dengan PJJ sudah tak lagi dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Saat siswa mengerjakan tugas, sudah bukan siswa lagi yang belajar dan bekerja di rumah. Ada siswa yang hanya copy paste, hanya mencontek pekerjaan siswa lain, dikerjakan oleh orang lain dll.
Dari segi akademis tak dapat dipertanggungjawabkan, dari segi nonakademis, sikap dan moralitas, serta karakter budi pekerti luhur pun sudah tak dapat ditaklukkan.
Sungguh, belajar tatap muka kini sangat mendesak. Meski pandemi corona sangat merajalela, namun belajar tatap muka bisa dengan cara di ruang terbuka.
Miris, segala aspek kehidupan menyangkut hajat hidup orang banyak semakin menambah beban rakyat, di sisi lain, parlemen dan pemerintah yang disetir partai politik, lalu partai politik dikendalikan cukong, malah asyik dengan berbagai program yang dominan demi kepentingan sendiri dan keuntungan cukong.
Persatuan dan kesatuan bangsa terus tergerus oleh kepentingan partai politik dan cukong. Di depan mata ada daerah yang malah sudah mengikrarkan diri menjadi negara di dalam negara. Tapi pemerintah dan parlemen seperti adem ayem.
Keadilan dan kesejahteraan rakyat terus sekadar utopia, urusan kesehatan pun, rakyat terus jadi kambing hitam dan terus menjadi tempat pemungutan upeti sekehendak hati-nya. Iuran BPJS terus diobok-obok, dinaikkan tanpa peduli melihat kondisi ekonomi rakyat miskin.
Di dunia pendidikan, menterinya pun maunya cuci tangan. Tak berani bergerak dan ujungnya rakyat juga yang diminta menentukan kebijakan dan izin belajar tatap muka.
Di sisi lain, pemerintah dengan tangan aparatnya, juga terus membiarkan para provokator baik dari kalangan elite partai, kalangan Istana, kalangan seleberiti, hingga kalangan influencer dan buzzer terus bebas berkeliaran, beropini dan mencuit di medsos dan bicara dalam pemberitaan yang bukan meredam suasana, namun justru tambah mendidihkan suasana panas hati rakyat.
Wahai pemerintah dan aparat, mengapa para provokator itu malah diberikan ruang dan justru terus masuk dalam pemberitaan media. Mengapa media penyebar berita provokator itu juga masih dibiarkan bebas terbit?
Apakah semua itu juga menjadi "pasukan" pengalihan isu demi melancarkan aksi kepentingan-kepentingan?
Mungkin inilah bentuk penjajahan masa kini yang masih harus dilanjutkan dan diterima oleh rakyat Indonesia, dan siapa penjajah baru itu, rakyat pun semakin paham.
Di tengah pandemi corona, rakyat bukan hanya dihadapkan oleh virus mematikan, namun rakyat hanya diperas suaranya demi kursi dan kedudukan jabatan. Setelahnya, sudah mentradisi rakyat pun hanya dijadikan korban dan kambing hitam.
Inilah orkestra derita yang tak berujung di tanah nusantara, yang semakin jauh dari amanah pembukaan UUD 1945. Yang kaya tambah kaya. Yang miskin tambah merana. Yang dekat penguasa dan mengabdi pada junjungannya, "aman dan terjamin" hidupnya. Yang menentang dan melawan ketidakadilan, justru penjara tempatnya.
Siapa yang akan membukakan mata dan hati para wakil rakyat yang sewajibnya amanah untuk rakyat? Apakah harus menunggu pintu hidayah?
Apakah tanggal 9 Desember 2020 benar-benar akan menjadi pesta demokrasi rakyat? Atau hanya pesta elite partai, partai politik, dan cukong yang telah mengucurkan dana untuk Pilkada? Atau menjadi pesta virus corona yang telah menunggu momentum menyerangnya demi terus eksis merajalela?
Sungguh, rakyat sangat menanti orkestra derita di tanah nusantara terhenti, berubah menjadi simponi bahagia selamanya. Satu Nusa, Satu Bahasa, Satu Bangsa. Semoga bukan utopia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H