Ternyata Ronny tidak salah, sebab 16 SSB yang saya sebut sebagai SSB pelopor di Indonesia, sebagian besar hingga kini (22 tahun) SSB-SSB pelopor itu masih hidup dan bahkan beberapa makin bersinar. Meski ada yang tak terdengar lagi namanya, mungkin ada sesuatu alasan mengapa SSB bersangkutan tak hidup lagi.Â
Namun, bisa saya pastikan, sebab saya ada dan menjadi bagian sejarah Turnamen dan munculnya secara resmi nama SSB di Indonesia oleh PSSI, maka para pendiri/pemilik/pembina 16 SSB pelopor itu memang berasal dari para insan yang benar-benar menjadi praktisi sepak bola.Â
Membuka wadah SSB bukan untuk gaya-gaya an dan lagi "sok" kaya, pun bukan karena dan demi anaknya tapi demi masyarakat dan demi Indonesia, maka hingga saat ini masih bertahan, masih konsiten melakukan pembinaan, pelatihan, dan kompetisi, tak tergerus oleh hadirnya SSB/Akademi/Diklat baru yang terus bermunculan. Termasuk SSB instan yang merusak tatanan pembinaan karena mengimingi gratisan. Bukan menampung anak berbakat yang memang oramg tuanya tak mampu.
Inilah fakta pembinaan, pelatihan, hingga kompetisi yang terjadi dalam sepak bola akar rumput kita, yang sangat sulit di urai benang kusutnya, karena PSSI sendiri saya anggap tak mampu mengurus dengan benar sektor vital, sektor pondasi timnas ini. Sehingga, kasus-kasus munculnya SSB instan, perekrutan siswa instan dan gratisan, akan terus terjadi entah kapan.
Uniknya, kini para pemilik/pendiri/pembina/pelatih/orang tua SSB instan itu, justru sangat bermimpi anak-anak nya bisa masuk Timnas, karena memang tak paham atau tak mau tahu, fungsi dan tugas pembinaan sampai kompetisi sepak bola akar rumput itu apa. Miris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H