Kendati pernyataan tersebut diungkapkan dalam dalam Seminar yang digelar baik secara luring maupun daring di Akademi Militer (Akmil) Magelang bertajuk 'Eksistensi Pancasila dalam Mencegah Disintegrasi Bangsa dan Intoleransi melalui Bela Negara', Rabu (18/11/2020), seperti diberitakan di beberapa media, namun tetap saja pernyataan tersebut belum tentu sesuai fakta dan kenyataan.
Sebab, faktanya siapa pihak di negeri ini, yang kini banyak lebih curiga, apakah rakyat atau penguasa? Artinya siapa yang di negeri ini sedang bahagia dan tidak bahagia? Lalu, siapa di negeri ini yang justru lebih banyak intoleran?
Bila rakyat menuntut dan membela atas hak-haknya dengan demonstrasi, mengritik, dan lainnya, apakah dilandasi oleh kecurigaan? Bukan karena berlandaskan kebenaran, sebab pemimpin/penguasa dan wakil rakyat tak amanah?
Rakyat memang sedang menderita dan tak bahagia. Tapi apakah demonstrasi sebagai wujud demokrasi disebut intoleran? Sementara yang tak mau mendengar suara rakyat disebut toleran? Kok bikin kesimpulan tidak tajam dan terkesan dangkal.
Yang lebih menjadi pertanyaan, tokoh ini juga membuat kesimpulan bahwa orang yang sehat adalah orang yang toleran. Sementara orang yang menyukai Pancasila berarti orang yang sehat.
Dengan kata lain, orang yang sehat adalah orang yang toleran, sehingga orang yang suka Pancasila adalah orang yang sehatÂ
Faktanya, di negeri ini sikap toleransi semakin menghilang, apakah karena para pemimpin dan rakyat Indonesia sedang dalam kondisi tidak sehat semua?
Mengapa intoleran justru banyak dicontohkan oleh para pemimpin itu? Mereka kan sehat! Artinya, dalam kondisi sehat tapi tak toleran atau intoleran. Berarti apakah cinta Pancasila?
Hati-hati bikin kesimpulan. Lihat fakta yang terjadi, jangan asal menyimpulkan bila kondisi dan kesimpulannya malah jauh panggang dari api.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H