Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

92 Persen Calon Kepala Daerah di Indonesia Dibiayai Cukong, Bagaimana KPK?

12 September 2020   12:08 Diperbarui: 12 September 2020   11:59 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bila sebelum pemerintahan Jokowi kata cukong sudah dikenal oleh rakyat Indonesia bahkan sejak zaman penjajahan kolonialisme dengan konotasi positif. Kini, kata cukong menjadi berkonotasi negatif sejak kata cukong pertama kali diungkap oleh Ketua MPR kita, Bamsoet sebagai pihak yang memberi modal dan mengatur partai politik dan para elitenya, sehingga bangsa dan negara ini terus bergeser pada kekuasaan oligarki dan terus subur dinasti politik. Kata lainnya, kini cukong adalah "penjajah" baru di Indonesia.

Cukong dulu dan kini

Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata cukong  bermakna orang yang mempunyai uang banyak yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain atau pemilik modal.

Dari literasi yang lebih luas kata cukong berasal dari bahasa Hokkian yang lazim dilafalkan di Indonesia oleh suku Tionghoa-Indonesia. Cukong (Hanzi: , hanyu pinyin: zhugong) dalam bahasa Hokkian atau bahasa Mandarin berarti pemimpin; ketua; pemilik; bos.

Uniknya, kata cukong ini hanya sampai tahun 1950-an masih merujuk makna bos atau majikan, namun setelahnya, kata cukong berkonitasi negatif karena sering dirujuk kepada pengusaha-pengusaha dari suku tertentu terutama suku Tionghoa-Indonesia dan semakin negatif dalam pemerintah Orde Baru.

Masyarakat semakin teropini bahwa cukong ini dipenuhi pengusaha Tionghoa yang mayoritas terlibat praktik kolusi, korupsi dan nepotisme dalam perbisnisan mereka.

Kini, dalam pemerintahan Jokowi, kata cukong semakin naik daun, pun semakin berkonotasi negatif sebagai penjajah baru yang dipadankan dengan kata taipan atau konglomerat.

Setelah Ketua MPR terang-terangan menyebut partai politik dan elite partainya dikendalikan oleh cukong, saya kutip dari CNNIndonesia, Jumat (11/9/2020), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Hal itu disampaikan Mahfud
saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi yang disiarkan melalui kanal Youtube resmi Pusako FH Unand, Jumat (11/9/2020).

Waduh. Benarkah pernyataan Mahfud ini? Padahal saya dan masyarakat Indonesia sampai hari ini masih berharap bahwa cukong=penjajah baru itu, masih sekadar hoaks alias hanya omong kosong.

Namun, ternyata Mahfud sebagai Menko Polhukam) malah tegas mengungkap menyoal cukong ini. Bahkan Mahfud menyebut rata-rata, setelah terpilih, para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut.

Karenanya, calon-calon kepala daerah yang 92 persen dibiayai oleh cukong, maka sesudah terpilih, akan melahirkan korupsi kebijakan. Hubungan timbal balik ini biasanya berupa kebijakan yang diberikan para calon kepala daerah yang telah resmi terpilih kepada para cukong tersebut. Apa yang terjadi kemudian, kata Mahfud, dampak kerja sama dengan para cukong ini lebih berbahaya dari korupsi uang, yaitu korupsi kebijakan, berupa lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang, dan lisensi lainnya yang lebih merugikan masyarakat. Dan, cukong ini beraksi sejak Pilkada langsung.

Selain diungkap Mahfud, menyoal cukong Pilkada ini juga diungkap oleh salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Dalam kajian yang pernah dilakukan KPK, sebanyak 82 persen calon Kepala Daerah didanai oleh sponsor.

Jadi selama ini, ternyata praktik money politic baik dalam Pilkada apalagi Pilpres, benar-benar sangat subur di Indonesia. Namun, hingga detik ini, belum pernah ada kabar dan berita cukong yang tertangkap oleh KPK? Padahal, praktik money politic ini pasti ada aliran dana yang dapat dilacak dan dijadikan bukti delik korupsi.

Aneh bin ajaib. Gembar-gembor cukong ada di Indonesia atau luar Indonesia dan menjadi penjajah baru NKRI, namun hanya ramai dalam berita.

Lalu, kira-kira apakah akan terus dibiarkan dan ditonton saja Pilkada 2020 , tidak ada penindakan sampai penggagalan calon karena dapat dibuktikan sudah melakukan KKN dengan cukong?

Bila Mahmud sudah tahu dan menyebut ada 92 persen calon kepala daerah yang KKN dengan cukong, apa tindakan pemerintah, apa sikap KPK, dan bagaimana ketegasan KPU?

Apa gara-gara cukong yang sudah menggelontorkan dana, tapi tidak ada yang ditangkap, lalu Presiden juga bersikukuh Pilkada 2020 tetap dilaksanakan? Padahal baru proses pendaftaran saja sudah banyak yang melanggar protokol Covid-19.

Belum Pilkada saja sudah ada 46 calon yang positif corona, dan Mahfud pun sudah bilang, ada 92 persen calon yang disponsori cukong. Bagaimana ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun