a. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan (awak/personel, penumpang) khususnya yang berasal dari wilayah/negara dengan transmisi lokal, melalui pengamatan suhu dengan thermal scanner maupun thermometer infrared, pengamatan tanda dan gejala, maupun pemeriksaan kesehatan tambahan.
b. Melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan pada orang.
c. Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam melalui thermal scanner/thermometer infrared maka dipisahkan dan dilakukan wawancara serta dievaluasi lebih lanjut.
d. Jika ditemukan pelaku perjalanan terdeteksi demam dan menunjukkan gejala-gejala pneumonia di atas alat angkut berdasarkan laporan awak alat angkut, maka petugas KKP akan melakukan pemeriksaan dan penanganan ke atas alat angkut dengan menggunakan APD yang sesuai.
e. Tatalaksana terhadap pelaku perjalanan dilakukan sesuai dengan kriteria kasus dan kondisi, serta prosedur penanganan kasus.
f. Terhadap barang dan alat angkut dilakukan tindakan kekarantinaan sesuai SOP yang berlaku.
Maka, pola ini tetap akan lebih rentan karena selama ini pengawasan terhadap pelaku perjalanan telah terbukti banyak "bolongnya" akibat tidak seragamnya kebijakan masing-masing daerah.
Meski tetap ada kewajiban tes sebagai kelengkapan dokumen kesehatan dan untuk mematuhi aturan di tempat tujuan, maka pencabutan aturan tes tetap menjadi masalah dan rancu.
Pendapat epidemiolog
Atas pencabutan peraturan tes ini, menurut dokter Spesialis Patologi Klinik Rumah Sakit Cicendo Shinta Sri Ayuda mengungkap bahwa rapid test hanya untuk mendeteksi imun tubuh dan antibodi yang bereaksi apabila terkena virus dan tidak hanya beraksi pada Virus SARS CoV-2 saja, sehingga hasilnya tidak bisa dijadikan acuan apakah seseorang terkena Covid-19 atau tidak.
Karenanya, ketika reaktif belum tentu positif Covid-19, atau kalau nonreaktif belum tentu negatif Covid-19. Tapi ini bisa digunakan untuk skrining virus, dan masih digunakan karena memang harganya yang relatif lebih murah.
Artinya, apa yang diungkap Shinta dapat disimpulkan bahwa rapid test yang murah tetap dapat diandalkan sebagai alat skrining.
Pendapat Shinta ini pun diperkuat oleh Kepala Departemen Epidemiologi FKM UI Tri Yunis Miko Wahyono yang mengatakan bahwa penghapusan aturan test tersebut bisa berakibat fatal seperti diungkap Tri Yunis kepada Bisnis.com Selasa (8/9/2020).
Menurutnya, rapid test masih bisa diandalkan meskipun masa inkubasinya lama dan dari sisi akurasi masih kurang. Tapi, setidaknya ada upaya untuk skrining daripada tidak ada sama sekali.
Dengan adanya pendapat dari Shinta dan Tri, ini menunjukkan bahwa kebijakan Kemenkes mencabut aturan tes perjalanan menjadi kurang kuat.
Selama ini, masyarakat juga sudah banyak yang memahami bahwa akurasi rapid test tidak 100 persen. Namun, bila rapid test  yang sensitivitasnya baik, sampai 93 persen lalu di hapus, padahal dengan rapid test setidaknya  dapat mendeteksi kalau orang terkena virus dalam beberapa hari menjelang perjalanan, maka pencabutan aturan memang benar-benar akan kembali membikin masalah.