Atas hasil uji coba dua laga yang telah dilalui, mengingat STy jelas-jelas tak menguasai tipikal pemain yang kini ada di  Kroasia secara mendalam, publik pun bertanya.
Mengapa pemain tak lolos skill sementara bisa masuk Timnas U-19 yang sedang berproses? Sudah begitu, STy malah langsung membentuk mereka dari segi fisik. Harus diingat, sampai detik ini akibat dari berbagai benang kusut, pemain Indonesia bukan sekelas pemain Eropa atau Amerika, yang bila dipanggil Timnas, tentu sudah tergaransi kualitas dan skill individunya.
Karenanya, setiap pelatih yang membesut Timnas, seharusnya akan menyeleksi pemain dimulai dari kemampuan pemain dalam permainan, setelahnya baru memastikan memilih masuk dalam kerangka tim, dan kerangka tim inilah yang akhirnya diberikan program pelatihan.
Maaf, seorang pelatih tingkat Kelurahan atau Kecamatan saja dalam menyiapkan tim untuk sekadar mengikuti turnamen tingkat kota di Indonesia bernama "Porkot" tidak akan memberikan program pelatihan tim, sebelum yakin memilih pemain yang berkualitas dari segi kecerdasan Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed (TIPS) yang semuanya terbungkus dalam satu kata, bernama skill individu pemain.
Mungkin kini apa yang dilakukan STy adalah program pelatihan milenial, modern. Sehingga, langsung hantam kromo masuk program dan menghajar pemain di materi fisik, tapi lupa apakah para pemainnya mumpuni dalam skill individu atau tidak.
Jadi, sejatinya STy sudah melakukan program pembentukan Timnas U-19 dengan proses yang salah. Seharusnya, pilih dulu semua pemain yang berstandar tinggi, cerdas TIPS (skill individu) baru yang terpilih dan layak masuk dalam program proses pembentukan Tim.
Andai STy melakukan program dengan benar, bukan mustahil, publik dunia dan Indonesia akan langsung melihat gambaran Timnas U-19 yang tak seperti saat meladeni Bulgaria dan Kroasia.
Dengan demikian, artinya sejak TC di Jakarta plus di Kroasia, STy hanya melakukan pekerjaan sia-sia dan pemborosan anggaran bila pada akhirnya Timnas U-19 tulang punggunnya tetap mantan pemain besutan Fakhri Husaini yang telah diproses tidak instan dan tak semudah membalik telapak tangan.
Jadi, PSSI terutama melalui Direktur Teknik, bisa mengevaluasi kinerja dan program STy yang menurut saya tidak tepat dan cenderung mubazir. Hentikan memandang STy sebagai mantan pelatih Korsel yang mampu menjungkalkan Jerman. Kini, STy sedang tidak ada di dalam negeri dongeng sepak bola. Tetapi negeri nyata Indonesia yang tipikalnya berbeda dengan Korea Selatan, Eropa, atau Amerika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H