[caption id="attachment_161101" align="alignleft" width="321" caption="Rumah Panggung di perairan Wakatobi ( foto: Tonny Trimarsanto )"][/caption] Rumah panggung. Rumah rumah itu dibangun di atas air. Tiang tiang tegak penyangga dari kayu, kuat menopang bangunan rumah dari sergapan ombak. Itulah, rumah khas masyarakat Bajo. Orang Bajo yang hidupnya menyebar, ke segenap penjuru dunia. Tidak saja mendiami setiap jengkal pesisir pantai Indonesia. Namun, hingga persisir Amerika dan Afrika.
Barangkali, inilah suku tertua di dunia. Suku yang sanggup bertahan, manakala masyarakat dunia berada dalam puncak peradaban tertinggi. Inilah premis yang disodorkan Arysio Santos dalam The Lost Atlantis. Namun, apakah The Lost Atlantis itu ada di Indonesia. Dan manusia manusia perahu itu adalah gambaran kongkret dari suku Bajo ? Apakah ini benar adanya ?
Kalaupun asumsi ini benar, mungkin bisa dinalar. Air menjadi media transportasi paling cepat, sebelum ditemukannya pesawat. Migrasi lewat air, tentu begitu padat. Migrasi yang, pada akhirnya, melahirkan temuan dan dialog dialog baru pada pelakunya.
Sekilas, mungkin masih nampak sederhana deretan rumah rumah suku Bajo di wilayah Wakatobi. Deretan rumah dengan spirit penaklukan laut. Laut yang mencoba terus menerus untuk ditaklukan. Namun tak akan mudah tentunya. Laut yang dijinakan demi hidup dari alam di dalamnya. Migrasi dan pencarian masyarakat suku Bajo, tentu telah menembus batas manapun.
Dari deretan rumah panggung di atas air itu, menjulangkan antenna parabola, milik pribadi, milik setiap rumah. Tidak heran jika beragam bentuk budaya akhirnya dicerna oleh masyarakat suku Bajo. Sekalipun, untuk memfungsikan antenna parabola, hanya menggunakan mesin disel yang dijadwal menyalakannya. Itupun hanya hitungan jam. Dari Jam 18.00 hingga 24.00.
[caption id="attachment_161090" align="alignright" width="384" caption="Jembatan Chelsea di Wangiwangi (foto Tonny Trimarsanto)"]
Jujur saya kaget, jika seorang milyuner Rusia mau membangun jembatan di kampung di atas air suku Bajo. Bukankah ini luar biasa ? Sungguh saya tak habis pikir. Milyander dengan kekayaan USD 21 milyar, mau mengabadikan nama klub sepakbola miliknya di Wakatobi.
Praduga saya, mungkin keliru. Atau memang sesungguhnya belum terjawab benar. Lantaran, ada beberapa hal untuk bisa mendeskripsikan jembatan ini. Apakah ini sebuah penghargaan pada Klub sepakbola Inggris Chelsea ? Atau kekaguman warga masyarakat terhadap sosok aktris sinetron Chelsea Olivia ?
Pencarian jawab, kembali saya lanjutkan. Kali ini saya terus keliling ke kampung kampung di tengah laut suku Bajo yang lain. Sedikit jawaban terungkat. Ada temuan yang mungkin akan mewakili apa yang ingin saya cari. Setelah keluar masuk rumah, saya menemukan jawabnya. Bahwa suku perairan Bajo adalah penggemar berat sinetron. Beragam bentuk poster aktris aktor sinetron tertempel hangat di kamar tidur, ruang keluarga dan ruang makan. Seakan, suku Bajo menjadi bagian dari kehidupan selebriti itu sendiri.
[caption id="attachment_161097" align="alignleft" width="116" caption="Selamat datang di rumah suku Bajo, demikian selebriti ibukota akan menyambut kita"]
Selamat datang di jembatan Chelsea !!!  Mari bermain bola. Mari berseni peran.
Baca kisah perjalanan selanjutnya : Anak yang Berjalan di Dasar Laut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H