Tembok-tembok terkenal terbentang luas di berbagai belahan dunia. Dari Great Wall di China, Berlin Wall di Jerman, sampai Hadrian's Wall di Inggris. Namun, di antara semua tembok itu, Western Wall (Tembok Barat) di Yerusalem memiliki makna sangat spesial. Selain memiliki nilai historis, tembok ini juga dianggap sangat suci oleh bangsa Yahudi.Â
The Western Wall (dalam bahasa Ibrani: HaKotel HaMa'aravi atau disingkat sebagai Kotel) adalah sebuah tembok batu kapur kuno yang berdiri di Jewish Quarter di Kota Tua Yerusalem. Tembok ini juga sangat populer dengan julukan Tembok Ratapan (The Wailing Wall).Â
Tembok Barat, yang dalam Islam disebut "the Buraq Wall"Â itu, sejatinya merupakan sisa dari dinding Bait Suci Kedua yang dibangun oleh Herodes yang Agung pada tahun 516 SM. Bait Suci Kedua itu dibangun di lokasi yang kini dikenal sebagai Temple Mount (Bukit Bait Suci) atau Bukit Moriah. Tempat berdirinya Dome of the Rock dan Masjid Al-Aqsa saat ini.Â
Satu-satunya bagian yang tersisa dari Bait Suci Kedua itu adalah Tembok Barat inilah. Alhasil, Tembok Barat ini pun dipuja-puja karena meskipun letaknya di sisi luar, tetapi paling dekat dengan Temple Mount yang dianggap suci itu. Sedangkan bagian dalam dari Temple Mount, yang kini merupakan lokasi kompleks Al-Aqsa, terlarang bagi orang Yahudi untuk beribadah.
Seperti diketahui, hingga kini Pemerintah Israel masih mempertahankan Status Quo dari kawasan Temple Mount (al-Ḥaram al-Sharīf).   Hanya umat Islam yang diijinkan berdoa di tempat ini. Sedangkan kaum Yahudi atau non-Muslim lainnya boleh masuk di waktu tertentu. Itupun hanya untuk kunjungan wisata. Tidak boleh ada kegiatan ibadah apapun.
Dengan demikian maka Tembok Barat memang yang paling cocok sebagai tempat 'ibadah' bagi kaum Yahudi. Lagipula bagi mereka, tembok ini tidak ikut hancur karena di sinilah berdiam "Shekinah" (Kehadiran Illahi). Berdoa di Tembok Ratapan sama artinya dengan berdoa kepada Tuhan.Â
The Western Wall sejatinya memiliki panjang sekitar 488 meter. Namun, saat ini tembok yang berada di sisi barat dari bekas Bait Suci Kedua itu, hanya tersisa sepanjang 60 meter. Nama tembok ini awalnya memang hanya dikenal sebagai Tembok Barat, sesuai dengan posisinya di sisi barat dari Bait Suci Kedua.Â
Nama Tembok Ratapan baru disematkan ke tembok terkenal ini karena di tempat yang mirip Sinagoga terbuka itulah orang Yahudi menangis dan meratapi penghancuran Kenizah Kedua itu. Suatu penyesalan mendalam akibat hancurnya tempat ibadah yang dibangun Herodes Agung. Simbol dari kebesaran masa lalu.
Rabbi Shmuel Rabinovitch, Rabbi dari Tembok Barat dan penulis buku "Minhagei HaKotel", sebuah buku tentang Tembok Ratapan, mengatakan bahwa membakar kertas masih lebih murni. Tetapi, menguburkannya akan jauh lebih terhormat. Bagaimanapun juga surat-surat doa itu ditujukan kepada Tuhan.
Dengan prinsip seperti itulah, setiap dua kali setahun, Rabinovitch dan para asistennya mengumpulkan semua surat doa yang disisipkan di Tembok Ratapan lalu menguburkannya di Pekuburan Yahudi di Bukit Zaitun. Jadi benar-benar dikuburkan, tidak dibuang!
Fenomena ini kabarnya sudah berlangsung sejak abad ke-18. Dan tidak hanya dilakukan orang Yahudi. Para peziarah Kristen dari berbagai negara pun mulai mengikutinya. Bahkan sebagian wisatawan dengan latar belakang agama berbeda tidak mau ketinggalan. Ikut menyisipkan doa dalam secarik kertas di antara celah dinding batu Tembok Ratapan.
Kawasan Tembok Ratapan memang kini terbuka bagi semua pengunjung. Padahal di masa lalu, bangsa Yahudi pernah dilarang memasuki kawasan ini kala dikuasai Yordania (1948-1967). Setelah Perang Enam Hari Arab-Israel, yang berakhir pada tanggal 10 Juni 1967, Israel pun menguasai sebagian besar wilayah Yerusalem. Tentu saja termasuk kawasan Western Wall.
Nah, jika Anda hendak ke Tembok Ratapan, maka satu-satunya akses yang dibuka adalah melalui Dung Gate. Pintu gerbang yang berada di Jewish Quarter ini juga dikenal dengan nama Silwan Gate dan Maghrabi Gate. Ada pemeriksaan cukup ketat ketika hendak memasuki area Tembok Ratapan. Mirip dengan security check di sebuah bandara internasional.
Sebuah keran sudah disediakan di tempat ini agar peziarah yang hendak masuk ke tempat sakral orang Yahudi itu bisa bersuci dulu dengan membasuh tangan. Dan khusus untuk jemaah laki-laki, jangan lupa menggunakan kippah (peci kecil berwarna putih) yang disediakan di situ. Ini adalah salah satu cara menghormati tradisi Yahudi.
O ya, tentu saja ada seorang Kompasianer juga. Anda tahu siapa dia, bukan? Hahaha.
***
Kelapa Gading, 9 November 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:Â
Semua foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI