Namun, jika setelah ditangani dokter tetapi tetap membutuhkan perawatan medis cepat, maka pilot pun bisa saja melakukan divert. Tentu tergantung seberapa berat sakit yang dialami penumpang tersebut. Dan itulah yang pernah saya alami dalam sebuah penerbangan dari Dubai ke Jakarta.
Setelah mengudara sekitar tiga jam, seorang penumpang diketahui sakit serius. Bantuan seorang dokter yang kebetulan terbang dalam pesawat yang sama tidak berhasil menanganinya. Dan konon akan beresiko jika harus menunggu hingga tiba di Jakarta yang masih sekitar 4 jam penerbangan.Â
Dengan pertimbangan keselamatan penumpang di atas segalanya, pilot pun memutuskan divert di Bandaranaike International Airport di Colombo, Sri Lanka. Bandara terdekat pada saat itu.Â
Kemudian petugas medis lengkap segera datang begitu pesawat mendarat. Beruntung saja, usaha pertolongan itu berhasil. Penumpang tersebut akhirnya diizinkan melanjutkan perjalanan bersama kami.
Sekitar dua jam tertunda di bandara tersebut sama sekali tidak berarti dibandingkan keselamatan seorang penumpang. Dan itulah yang seharusnya menjadi pegangan semua maskapai penerbangan di dunia.
Gangguan PenumpangÂ
Gangguan penumpang sebetulnya bisa bermacam-macam. Tetapi, jika dianggap sudah mengancam keselamatan pesawat, penumpang, atau awak pesawat, penerbangan itu pun bisa saja dialihkan. Kasus yang menimpa Turkish Airlines yang mendarat di Bandara Kualanamu termasuk dalam kategori ini.
Di negeri Paman Sam AS, jumlah penerbangan yang terpaksa mengalihkan pendaratan di bandara lain tercatat cukup tinggi.Â
Tidak heran, pihak FAA (Federal Aviation Administration) pun makin tegas terhadap penumpang yang membuat onar di dalam sebuah penerbangan. Tidak hanya denda besar, tetapi ancaman penjara pun menanti.