Slogan "Malaysia, Truly Asia" pernah sangat populer di era 2000-an. Negara jiran itu dianggap cerdas memanfaatkan keberagaman etnisnya sebagai sebuah kekuatan dahsyat. Hasilnya, slogan yang diusung Badan Promosi Pariwisata Malaysia itu pun sukses besar menjaring jutaan wisatawan dunia.
Syahdan, pada tahun 1999, Malaysia meluncurkan sebuah kampanye pariwisata di seluruh dunia. Tema utama yang digunakan adalah "Malaysia, Truly Asia". Kampanye masif yang menampilkan potret dari negeri yang dikenal sangat multietnis itu.
Kampanye itu pun seolah mengabarkan ke wisatawan dunia, "Anda ingin melihat Asia yang sangat multietnis? Kunjungi saja Malaysia!". Hasilnya, Malaysia pun sukses besar! Bahkan berhasil mengalahkan semua pesaingnya di Asia Tenggara di sepanjang dekade 2000-an.
Malaysia memang pantas membanggakan negerinya sebagai satu-satunya negara di Asia yang memiliki tiga etnis besar dalam jumlah sangat signifikan, yakni Melayu, Tionghoa dan India. Di samping itu, masih ada pula beberapa etnis lain yang hidup berdampingan secara damai di negara ini.
Dan kini wajah "Malaysia, Truly Asia" bisa dibilang tercermin dalam keberagaman penduduk pulau Penang. Setidaknya, itulah yang saya lihat selama kunjungan ke Penang kali ini. Di pulau yang dikenal sebagai satu-satunya wilayah di Malaysia di mana populasi penduduk dari etnis Tionghoa dan Melayu sangat berimbang.
Sementara itu, meskipun jumlahnya tidak terlalu besar, tetapi warga keturunan India pun cukup menonjol di pulau Penang. Komunitas India di pulau ini pun bak memiliki wilayah sendiri yang terkenal dengan nama "Little India". Sebuah kawasan penuh warna khas India di George Town.
Sejarah keberagaman etnis di Penang boleh jadi terkait dengan letak geografisnya yang sangat strategis di barat laut Semenanjung Malaysia. Bekas koloni Inggris ini pernah menjadi kota persinggahan yang sibuk dari berbagai bangsa selama ratusan tahun. Dan banyak di antaranya selanjutnya tinggal menetap di pulau indah ini.
Tidak hanya pendatang dari China dan India. Bahkan bangsa Armenia yang berasal dari wilayah Kaukasus pun pernah mewarnai kehidupan budaya di atas pulau ini. Sebuah jalan kecil di kawasan bersejarah "Penang Heritage Trail" pun dinamakan Armenian Street atau Lebuh Armenian.
Jejak keberagaman itu sejatinya bisa dilihat dari berbagai peninggalan budaya yang ada. Baik dari aneka makanan khas yang populer di Penang, aktivitas tradisional yang masih dirayakan, hingga berbagai tempat ibadah yang tersebar di seluruh pulau. Dari masjid, gereja, kelenteng, sampai kuil Hindu.
Char Koay Teow, contohnya, adalah kuliner terkenal yang konon dibawa etnis Tionghoa dari Chaozhou, Guangdong, China. Sedangkan, Nasi Briyani yang mudah ditemukan di Little India, Penang, diyakini berasal dari India. Dan bagaimana dengan Nasi Lemak? Hm, Anda pasti sudah tahu jawabannya.
Paling menarik diamati tentu saja adalah berbagai tempat ibadah dari masing-masing kelompok etnis. Meskipun tidak berarti warga India, misalnya, hanya ke kuil Hindu. Namun, secara umum bisa dibilang rumah-rumah ibadah yang ada merepresentasi kelompok etnis masing-masing.Â
Bagaimana tidak menarik. Hampir semua tempat ibadah itu tidak hanya kental dengan latar belakang sejarah yang panjang. Tetapi, juga tampil dengan gaya arsitektur yang memikat. Tidak mengejutkan, sebagian besar tempat ibadah ini pun dikenal sebagai objek wisata populer di Penang.
Tampil di deretan terdepan adalah masjid, gereja dan kelenteng yang jumlahnya paling banyak di Penang. Masjid-masjid yang ada, misalnya, yang bisa dianggap mewakili dominasi etnis Melayu ini, bisa ditemukan di berbagai lokasi di pulau Penang. Dan dua di antaranya yang paling terkenal berada persis di pusat kota tua George Town, yakni Masjid Kapitan Keling dan Masjid Lebuh Acheh.
Masjid Lebuh Acheh, yang berdiri di Jalan Acheh, adalah salah satu masjid yang sangat populer di Penang. Minaret masjid yang sekilas mirip mercusuar itu, dibangun pada tahun 1808 oleh seorang pedagang Arab yang datang dari Aceh, Indonesia. Inilah salah satu masjid tertua di Penang.
Selain masjid, komunitas Chinese-Peranakan yang leluhurnya mulai tiba di Penang pada abad ke-18 membuat wajah Penang kian berwarna. Kelenteng atau kuil tersebar di berbagai lokasi. Beberapa di antaranya bahkan berada di urutan teratas sebagai objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan.
Contohnya, Kek Lok Si Temple yang merupakan kuil Buddha terbesar di Malaysia. Lalu ada, Leong San Tong Khoo Kongsi, kelenteng terkenal milik Klan Khoo yang telah berdiri sejak tahun 1835. Dan jangan lupa juga, Kuan Im Teng atau Goddess of Mercy Temple yang memiliki gaya arsitektur menawan.
Kelenteng Kuan Im atau Goddess of Mercy Temple, yang terletak di Jalan Masjid Kapitan Keling itu, sudah berdiri sejak tahun 1728. Di waktu tertentu, Anda bisa melihat ratusan burung merpati di depan kelenteng tertua di George Town ini. Very interesting!
Bagaimana, betul menarik bukan? Jadi, masih ingin melihat kuil lainnya? Nah, kali ini mari menyaksikan kuil Buddha dengan gaya arsitektur berbeda, yakni Wat Chaiya Mangkalaram dan Kuil Burma Dharmikarama yang berdiri berhadapan di daerah Pulau Tikus, Penang.
Wat Chaiya Mangkalaram pasti mengingatkan pengunjung akan kuil-kuil khas Thailand di kota Bangkok. Kuil milik warga Thai-Malaysia ini dibangun pada tahun 1845 di atas tanah yang konon diberikan Ratu Victoria dari Inggris kepada orang-orang Thai yang berada di Penang.
Apalagi ada Patung Buddha Berbaring sepanjang 33 meter di dalam kuil ini. Mirip dengan yang ada di Wat Pho atau Temple of the Reclining Buddha di Bangkok. Bedanya, patung di Wat Pho, Bangkok, lebih panjang, yakni mencapai 46 meter.
Seakan tidak mau kalah dari Thailand, warga keturunan Burma (Myanmar) di Penang juga memiliki sebuah kuil berbeda. Itulah Kuil Burma Dharmikarama yang dibangun berhadapan dengan Wat Chaiya Mangkalaram. Kuil ini kabarnya selalu menjadi titik perayaan Songkran atau Thai Water Festival di pulau Penang.
Seperti yang umumnya tercatat dalam sejarah, penjelajahan bangsa Eropa ke seluruh dunia kerap diikuti penyebaran agama Kristen. Dan hal ini pun tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Penang. Agama Kristen mulai masuk ke Penang pada tahun 1786, yakni sejak pulau ini diserahkan kepada Kapten Francis Light dari British East India Company oleh Sultan Kedah.
Adalah Cathedral of Assumption, sebuah gereja katolik, yang dibangun pertama kali pada tahun 1786. Gereja ini didirikan komunitas Eurasian yang mengikuti Kapten Francis Light ke Penang. Inilah gereja katolik ketiga tertua di Malaysia, setelah St. Peter's Church dan St. Francis Xavier Church di Malaka.
Gereja lain yang tidak kalah kondang adalah St. George's Church, sebuah gereja Anglikan yang dibangun pada tahun 1818-1819. Gereja yang dirancang dengan gaya arsitektur kombinasi antara Neo-Klasik, Georgian dan English Paladian, juga berstatus sebagai gereja Anglikan tertua di Asia Tenggara.
Jejak komunitas Eurasia yang sudah lama meninggalkan Penang pun bisa dilihat dari catatan sejarah etnis Armenia. Salah satu bangsa dari wilayah Kaukasus Selatan, Eurasia, Asia Barat. Sebuah jalan di pusat kota tua, yakni Armenian Street, seakan mengingatkan eksistensi etnis ini di Penang pada masa silam.
Dari berbagai sumber, orang-orang Armenia di Penang cukup terpandang. Mereka bahkan pernah memiliki sebuah gereja pada tahun 1822, yakni Armenian Church of St. Gregory di Jalan Bishop. Namun, sayang sekali gereja ini sudah dirobohkan pada tahun 1937. Dan bekas lokasi gereja tsb kini berdiri Bangunan Mayban Trust.
Bagaimana dengan kuil warga keturunan India di Penang?
Nah, salah satu kuil yang paling terkenal adalah Kuil Balathandayuthapani, atau resminya disebut Arulmigu Balathandayuthapani Kovil. Kuil ini juga sangat populer dengan nama "Waterfall Hill Temple" atau "Thaneer Malai" oleh warga lokal di Penang.
Untuk mencapai kuil yang dibangun pada tahun 1782 itu, pengunjung harus mendaki 513 tangga. Kuil ini sangat penting bagi warga India yang beragama Hindu. Kuil ini juga yang menjadi titik fokus perayaan Thaipusam di Malaysia, selain yang di Goa Batu.
Kuil lain yang menarik minat pengunjung adalah Kuil Arulmigu Sri Mahamariamman yang dibangun pada tahun 1833. Kuil yang berada di Queen Street, Little India, itu juga diakui sebagai kuil Hindu tertua di George Town.
Dengan segala pesona keberagaman etnisnya itu, maka Penang pun pantas saja menyandang julukan sebagai "The Truly Asia". Suatu slogan yang pernah melambungkan industri pariwisata Malaysia di pentas dunia. Dan slogan itu pun seharusnya sejak doeloe layak digaungkan Indonesia. Pesona keberagaman Indonesia pun tidak kalah termasyhur.
Dan jika Malaysia boleh, Indonesia pun pasti bisa!
***
George Town, 16 Agustus 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:Â
Semua foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H