Andaikan John Lennon masih ada, boleh jadi pentolan grup musik The Beatles itu akan ikut barisan pendemo di Times Square, New York City. Invasi Rusia ke Ukraina telah menimbulkan gelombang protes di seluruh dunia. Dari New York sampai Sydney. Dan Lennon memang dikenal sebagai seorang aktivis perdamaian. Salah satu judul lagunya, "Give Peace a Chance" belum lama ini kembali dikutip Sekjen PBB Antonio Guterres.
Pada Rabu malam lalu, dalam pidato singkatnya sebagai respons atas serangan Rusia ke Ukraina, Sekjen PBB Antonio Guterres telah membuat suatu permohonan khusus ke Presiden Rusia Vladimir Putin agar menghentikan invasi ke Ukraina. Seperti dikutip dari kantor berita AP, Sekjen PBB asal Portugal itu mengatakan:
"If indeed an operation is being prepared, I have only one thing to say from the bottom of my heart: President Putin, stop your troops from attacking Ukraine. Give peace a chance! Too many people have already died."
(Jika memang suatu operasi sedang disiapkan, saya hanya memiliki satu hal untuk dikatakan dari lubuk hatiku yang paling dalam: Presiden Putin, hentikan pasukan Anda dari menyerang Ukraina. Beri kesempatan damai! Terlalu banyak orang telah meninggal).
Ucapan Guterres itu seketika mengingatkan banyak orang akan lagu ciptaan John Lennon. Pemusik kelahiran Liverpool- Inggris itu memang sangat fenomenal. Selain "Imagine" yang sangat terkenal, Lennon juga menciptakan lagu bernafaskan perdamaian lainnya, yakni "Give Peace a Chance".
Lagu ini dirilis bersama The Plastic Ono Band pada Juli 1969 itu. Uniknya, lagu ini diciptakan ketika John dan Yoko sedang berbulan madu di kamar nomor 1742, Hotel Queen Elizabeth, Montreal, Kanada.Â
Namun, alih-alih berlibur seperti pasangan lainnya, Lennon dan Yoko Ono justru melewatkan bulan madunya dengan aksi perdamaian unik dengan cara tidak beranjak dari tempat tidurnya.Â
Kala sedang melakukan aksi 'Bed-ins for peace' itulah, lahir lagu fenomenal ini. Lagu ini makin melejit setelah di acara "Vietnam Moratorium Day" pada 15 November 1969 di kota Washington, DC, AS, sekitar setengah juta pendemo ikut menyanyikan sepotong liriknya, "All we are saying... is give peace a chance".Â
Alhasil, lagu ini pun dengan cepat mencuat menjadi semacam lagu kebangsaan dalam setiap demonstrasi anti Perang Vietnam kala itu. Dan apakah pendemo anti invasi Rusia ke Ukraina pun akan menyanyikan kembali lagu ini?
Meskipun belum terdengar, tetapi setidaknya ucapan Antonio Manuel de Oliveira Guterres, yang juga pernah menjadi Perdana Menteri Portugal itu layak diperhatikan Vladimir Putin. Perang, dengan alasan apapun, sulit diterima siapapun.
Akibat invasi pasukan Rusia yang kini telah memasuki kota Kiev, Putin pun dihujat di mana-mana. Dari ruang-ruang sidang di PBB sampai ke jalan-jalan di berbagai kota besar di dunia. Aksi solidaritas terhadap nasib warga Ukraina juga ikut disuarakan warga Rusia sendiri.
Di masa lalu boleh jadi mustahil melihat rakyat Rusia menentang agresi militer dari negaranya sendiri. Apalagi terhadap negara lain yang dianggap tidak bersahabat.Â
Tetapi, di era global seperti sekarang, jelas berbeda. Rakyat Rusia sendiri tanpa ragu sedikitpun ikut melakukan protes di 60 kota di Negeri Beruang Merah itu.
Di Moskwa, ibu kota Rusia, dilaporkan lebih dari 1.000 pemotres telah ditahan. Namun, pendekatan represif seperti ini justru membuat Vladimir Putin kian tidak populer di negeri sendiri.Â
Belum seminggu agresi militer Rusia ke negara tetangganya itu, Rusia sudah mulai merasakan pahitnya dimusuhi banyak negara di dunia.
Bak ungkapan siapa menabur angin akan menuai badai. Ukraina memang dibuat porak poranda oleh pasukan Rusia.Â
Akan tetapi, Rusia sendiri mulai dihantam berbagai aksi penolakan atas semua kepentingannya di dunia. Mulai dari dilarangnya maskapai Aeroflot memasuki wilayah Inggris hingga pembatalan berbagai sport events berskala internasional.
Babak final UEFA Champions League, misalnya, yang dijadwalkan berlangsung di stadion Gazprom Arena di kota St. Petersburg pada 28 Mei 2022, telah dibatalkan pihak UEFA. Perhelatan final sepak bola bergengsi itu sudah resmi dipindahkan ke Stade de France- Paris, Prancis.Â
Selain itu, penggemar balapan Formula 1 di Rusia pun harus gigit jari. Ajang Russian Grand Prix 2022 yang diagendakan berlangsung di sirkuit Sochi Autodrom, di kota resort Sochi, pada tanggal 25 September 2022 pun telah dibatalkan. Dan tidak lama setelah pembatalan itu, sebuah kabar dari Lausanne membuat pecinta olah raga di Rusia kian merana.
International Olympic Committee (IOC) telah mendesak semua badan olah raga dunia untuk membatalkan atau memindahkan seluruh pertandingan olahraga dari Rusia dan Belarus. Bahkan meminta untuk tidak mengibarkan bendera Rusia maupun memutar lagu kebangsaan Rusia di semua event yang diikuti negara agresor itu.
Beberapa events besar lainnya pun kini dibayangi pembatalan. Misalnya, semua pertandingan Ski di bawah kendali International Ski Federation (FIS) kemungkinan akan dibatalkan. Begitupun "2022 FIVB Volleyball Men's World Championship" yang sedianya berlangsung pada akhir Agustus nanti di beberapa kota di Russia, juga terancam batal.
Vladimir Putin mungkin telah memperhitungkan dengan cermat dari aspek militer, tetapi apakah Putin juga memikirkan dampak agresinya terhadap rakyatnya sendiri.Â
Pembatalan berbagai events besar itu jelas merugikan banyak pihak di Russia. Tentu saja, termasuk industri pariwisatanya yang sejatinya baru mulai merangkak naik setelah dihantam badai covid-19.
Setiap tahun Russia menerima lebih dari 20 juta kunjungan wisatawan. Tahun 2019, misalnya, Russia menyambut sekitar 25 juta wisatawan dari berbagai negara.Â
Namun, angka ini anjlok selama masa pandemi. Di tahun 2020 hanya tercatat sekitar 8.6 juta wisatawan asing yang berkunjung ke berbagai destinasi wisata di negara itu.
Paling menarik dicermati, dari data negara asal wisatawan asing di tahun 2020, wisatawan asal Ukraina menduduki peringkat teratas.Â
Setidaknya, ada sekitar 2.3 juta wisatawan asal negeri yang kini sedang diinvasi itu. Alhasil, sektor pariwisata Rusia dipastikan bakal kehilangan wisatawan asal Ukraina dan banyak negara lainnya di musim semi hingga musim panas mendatang ini.
Dengan semua dampak yang sudah terjadi hingga hari ini, Rusia tetap bergeming. Bahkan dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang berlangsung pada Jumat lalu, Rusia sukses memveto resolusi yang menuntut Putin menghentikan serangan dan menarik pasukannya dari Ukraina.
Mungkin menarik mendengar apa yang dikatakan Linda Thomas-Greenfield, Duta Besar AS di PBB, setelah veto Russia itu.Â
O ya, hak veto adalah hak istimewa yang bisa digunakan untuk membatalkan keputusan dari anggota Dewan Keamanan PBB. Selain Rusia, ada 4 negara lainnya yang memiliki hak yang sama, yakni AS, China, Prancis dan Inggris.
"Russia, you can veto this resolution, but you cannot veto our voices. You cannot veto the truth. You cannot veto our principles. You cannot veto the Ukrainian people. You cannot veto the UN Charter. And you will not veto accountability."
(Rusia, Anda dapat memveto resolusi ini, tetapi Anda tidak dapat memveto suara kami. Anda tidak dapat memveto kebenaran. Anda tidak dapat memveto prinsip kami. Anda tidak dapat memveto rakyat Ukraina. Anda tidak dapat memveto Piagam PBB. Dan Anda tidak akan memveto pertanggungjawaban).
Dan tidak kalah pentingnya, Putin pun seharusnya mendengar suara dari ribuan rakyatnya sendiri. Dan siapa tahu ada suara lain dari lubuk hatinya sendiri...
All we are saying is... Give Peace a Chance
All we are saying is... Give Peace a Chance.
***
Kelapa Gading, 27 Februari 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:
1) Semua foto yang digunakan sesuai dengan keterangan di foto masing-masing.
2) Artikel ini ditulis khusus untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa seijin penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H