Follow the Moskva, Down to Gorky Park
Listening to the Wind of Change
An August summer night, Soldiers passing by
(Wind of Change by Scorpions)
Kota Moskwa diselimuti temperatur dingin membeku pada tanggal 25 Desember 1991. Lapangan Merah yang terkenal di jantung ibu kota Rusia itu pun memutih ditutupi salju. Namun, situasi berbeda justru sedang terjadi di balik Tembok Kremlin yang berada persis di sebelahnya.
Pada hari Natal itu, persisnya pada jam 19.32, bendera merah dengan simbol palu arit dan bintang merah milik Uni Soviet diturunkan untuk terakhir kalinya. Dan bendera triwarna horizontal, putih-biru-merah dari Rusia mulai dikibarkan. Di hari Rabu nan kelam itu, Uni Soviet pun tinggal sejarah.Â
Gorbachev, pemimpin Uni Soviet, secara resmi mengundurkan diri sebagai Presiden Uni Soviet.Â
Perubahan yang terjadi di Moskwa sungguh menyentak dunia. Hari itu Mikhail SergeyevichSuatu transisi kekuasaan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bahkan Gorbachev sendiri boleh jadi tidak menduga akhir dari reformasi yang digagasnya justru membuatnya ikut terjungkal.Â
Pembubaran Uni Soviet pun menjadi berita utama di seluruh dunia. Dan alunan lagu Wind of Change yang digubah Klaus Meine, vokalis utama Scorpions ikut mengiringi tersungkurnya Sang Beruang Merah ini. Lagu dari grup rock asal Hannover itu selanjutnya bak menjadi simbol bubarnya Uni Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin di Jerman.Â
Dua protagonis di masa kritis itu, yakni Mikhail Gorbachev dan Boris Yeltsin, paling menyita perhatian dunia. Gorbachev tentunya menyadari waktunya sudah selesai. Sementara itu, bagai menunggang angin perubahan, Boris Yeltsin tampil penuh percaya diri sebagai Presiden Federasi Rusia.Â
Runtuhnya Uni Soviet memang tidak terlepas dari reformasi politik dan ekonomi yang dicetuskan Michael Gorbachev pada tahun 1985. Lewat perestroika (restrukturisasi) dan glasnost (keterbukaan), Gorbachev mendorong pemerintahan Partai Komunis mereformasi perekonomian dan lebih membuka negaranya.
Langkah lebih konkret diambil Gorbachev pada tahun 1988. Sambil menarik mundur tentara Soviet, Gorbachev memberikan "kebebasan untuk memilih" bagi negara-negara satelitnya di Pakta Warsawa. Gorbachev, yang juga menjabat sebagai Sekjen Partai Komunis Uni Soviet itu percaya bahwa bukan zamannya lagi mengandalkan tentara yang represif untuk menekan para pembangkang.
Dampaknya luar biasa. Satu demi satu pemerintahan Partai Komunis di wilayah blok timur itu rontok. Hongaria dan Polandia, misalnya, paling awal memanfaatkan momentum dengan membentuk partai-partai oposisi demi menyelenggarakan pemilu multipartai. Dan bak bola salju, demonstrasi massal pun merebak di seluruh Eropa Timur.
Dari Cekoslovakia, Bulgaria, hingga Rumania. Pemerintahan Partai Komunis pun tumbang satu demi satu. Era baru demokrasi multipartai lalu dimulai. Puncaknya, Tembok Berlin yang menjadi simbol terbelahnya Jerman dan Perang Dingin ikut runtuh pada November 1989.Â
Angin perubahan bak topan badai itu pun sejatinya ikut menyapu Pemerintahan Uni Soviet sendiri. Pada tahun 1989 yang penuh gejolak itu, kerusuhan besar terjadi di semua 15 republik yang bergabung di bawah Uni Soviet. Beberapa negara bahkan telah menuntut kemerdekaannya.
Reformasi yang digagas Gorbachev memang menuai pujian dunia. Bahkan mengantarnya meraih Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1990. Tetapi, suami Raisa Gorbacheva ini kehilangan dukungan di dalam negeri. Apalagi ketika situasi ekonomi di dalam negeri makin memburuk.
Pada tanggal 18 Agustus 1991, kelompok garis keras sempat melancarkan kudeta terhadapnya. Namun, pemberontakan itu bisa digagalkan Boris Yeltsin yang menyerukan rakyat Rusia untuk menentang kudeta tersebut. Setelah demonstrasi selama tiga hari, kudeta itu akhirnya gagal total.
Pasca kejadian itu, pengaruh Gorbachev menurun drastis. Partai Komunis yang sebelumnya sangat berkuasa dibubarkan. Tiga negara Baltik yang paling awal menuntut kemerdekaan, yakni Estonia, Latvia, dan Lithuania, pun akhirnya memisahkan diri pada September 1991. Gorbachev masih berusaha mempertahankan Uni Soviet.Â
Akan tetapi, Uni Soviet secara de facto sudah tiada, ketika beberapa negara lainnya mulai membentuk "Commonwealth of Independent States"Â (CIS). Posisi Gorbachev kian tersudut. Tidak ada pilihan lain kecuali mengundurkan diri dari Uni Soviet yang telah tercerai berai. Tragis!
Pada 1 Januari 1991, Uni Soviet masih tercatat sebagai negara terbesar di dunia dengan luas wilayah sekitar 22,400,000 km persegi. Hampir 1/6 luas permukaan bumi. Populasinya mencapai lebih dari 290 juta jiwa.Â
Kekuatan militernya juga mencengangkan. Belum lagi pengaruhnya lewat Pakta Warsawa, pesaing utama NATO. Akan tetapi, dalam tahun yang sama, Uni Soviet pun runtuh.
Lalu di manakah Vladimir Putin kala itu?
Putin, yang masih belum juga berumur 40 tahun ketika Uni Soviet runtuh, tidak termasuk kelompok yang dekat dengan Gorbachev. Putin disebut-sebut hanya seorang 'outsider'. Di periode penuh gejolak itu, Putin sedang ditugaskan jauh di Dresden, sebuah kota di bekas Jerman Timur kala itu.
Tidak lama setelah Gorbachev terpilih sebagai Sekjen Partai Komunis pada bulan Mei 1985, Putin menerima penugasan di Dresden. Putin yang sebetulnya seorang pejabat intelijen KGB, Badan Intelijen Uni Soviet, menggunakan identitas samaran sebagai penerjemah.
Putin berada di Dresden hingga runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989. Setelah itu, Putin kembali ke Leningrad (Saint Petersburg), kota kelahirannya, di awal tahun 1990. Setelah masa jabatan sebagai deputi wali kota St. Petersburg, Putin pindah ke Moskwa pada musim panas 1996.
Sejak itu pula, karier mantan pejabat KGB ini terus menanjak. Mulai sebagai Direktur Federal Security Service (penerus KGB di era Uni Soviet), Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, Perdana Menteri hingga Presiden Rusia. Putin bahkan merupakan presiden dengan masa jabatan terlama kedua di Eropa setelah Alexander Lukashenko, Presiden Belarus.
Putin menjabat sebagai Presiden Rusia antara tahun 2000-2008, lalu kembali menjadi Presiden Rusia sejak tahun 2012 hingga kini. Hebatnya, posisi ini diselingi dengan menjabat sebagai Perdana Menteri Rusia antara tahun 2008-2012, Putin juga pernah menjadi Perdana Menteri di era Boris Yeltsin, yakni dari 9 Agustus 1999 sampai 7 Mei 2000.
Kini sang presiden kembali menjadi perhatian dunia. Ancaman Perang Rusia-Ukraina berada di tangannya. Putin bisa sangat menentukan perubahan sejarah Ukraina maupun Rusia. Dan tentunya seluruh kawasan di sekitarnya.
Sikap keras Putin terhadap Ukraina boleh jadi berkaitan dengan kenangan pahit sang Presiden dengan sejarah jatuhnya Uni Soviet. Meskipun Uni Soviet berbeda dengan Rusia, tetapi negara inilah pilar utama dari Uni Soviet. Rusia bisa disebut sebagai pewaris utama Uni Soviet.
Jatuhnya Uni Soviet sekaligus menggerogoti kewibawaan Rusia di mata dunia. Apalagi sejak berpisah pada tahun 1991, bekas sekutunya di bawah bendera Uni Soviet itu, satu demi satu merapat ke NATO atau sebutlah Blok Barat yang notabene musuh utama Blok Timur di masa perang dingin.
Setelah bergabungnya Negara-negara Baltik, seperti Estonia, Latvia dan Lithuania ke NATO pada tahun 2004, bekas negara-negara satelit di era Uni Soviet pun ikut berpaling ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu. Di antaranya, Bulgaria, Hungaria, Rumania, Polandia, dan lain-lain.
Putin mungkin ingin mengatakan, "Enough is enough!". Cukup sudah! Dan ketika Ukraina pun berniat masuk ke NATO, Putin pun bereaksi keras. Presiden Rusia ini seakan mengingatkan semua negara tetangganya siapa 'penguasa' sesungguhnya di kawasan itu. Kini saatnya "The Empire Strikes Back".
Meskipun Putin tidak pernah mengatakan sakit hati atas bubarnya Uni Soviet. Tetapi, seperti dikutip dari kantor berita Reuters, Vladimir Putin menggambarkan kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1991 ibarat kehancuran bagi sejarah Rusia. Suatu pernyataan yang bisa menimbulkan spekulasi tentang arah kebijakan politik luar negerinya.
Apakah Rusia akan menginvasi Ukraina?Â
Sepertinya tidak. Setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Presiden Rusia itu telah memberi sinyal bahwa Rusia masih terbuka untuk negosiasi. Namun, ada satu pesan penting yang harus diingat dari manuver pasukan Rusia di perbatasan Ukraina.Â
Vladimir Putin seakan hendak memberikan peringatan keras ke semua negara tetangganya itu. Uni Soviet memang telah bubar tiga dekade lalu, tetapi jangan lupa, "Russia is still the Boss!". Dan jangan pernah bermain-main dengan Rusia!
***
Kelapa Gading, 17 Februari 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H