Hiruk pikuk suara pedagang dan pembeli bak mengiringi langkah kakiku di sepanjang jalan menuju Klenteng Jin-de Yuan. Jalan yang dipadati pedagang kaki lima dan kios di kedua sisi jalan itu pun terasa kian menyempit dengan masih lalu lalangnya sepeda motor yang ikut melintas. Pemotor dan pejalan kaki pun bak berebut setiap jengkal ruang kosong yang tersisa di depannya. Itulah wajah Petak Sembilan menjelang Hari Raya Imlek!
Jakarta memang masih menyimpan banyak sekali kawasan bersejarah. Dari era Sunda Kelapa hingga zaman Batavia. Dan salah satu kawasan yang ikut mewarnai sejarah panjang ibu kota Indonesia ini terselip di Kelurahan Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat.Â
Dari tempat inilah kawasan Pecinan Jakarta terus berdetak. Bahkan telah lama menjadi salah satu destinasi wisata yang sangat populer di Ibu Kota Indonesia ini.
Petak Sembilan bisa dibilang berada di pusat Chinatown-nya Jakarta. Kawasan di luar tembok benteng Batavia ini awalnya merupakan tempat isolasi bagi warga Tionghoa pada abad ke-17.Â
Pada saat itu, VOC memang sengaja menempatkan masyarakat Tionghoa dalam satu wilayah khusus. Strategi ini tidak lain demi keamanan bangsa kolonialis itu sendiri pasca peristiwa Geger Pecinan.
Nama Petak Sembilan itu sendiri konon berasal dari sembilan rumah petak yang pernah berdiri di lokasi ini. Sayang sekali rumah Petak Sembilan tersebut tinggal nama saja. Sulit menemukan warga setempat yang bisa menunjukkan bekas lokasi rumah-rumah tersebut saat ini.
Kawasan Pecinan ini sejatinya telah tersohor sejak ratusan tahun lalu. Setidaknya, sejak berdirinya sebuah klenteng yang disebut Jin-de Yuan atau Kim-Tek Ie pada tahun 1650. Kehadiran klenteng ini pun seakan menandai dimulainya peradaban warga keturunan Tionghoa di wilayah yang sarat nilai sejarah ini.
Dari wihara yang selanjutnya menjadi ikon Jakarta Chinatown itulah berbagai aktivitas agama dan budaya dari komunitas Tionghoa dirayakan sejak abad ke-17. Sama seperti yang juga ditulis dalam buku "Historical Sites of Jakarta" karya Adolf Heuken.
Mulai dari perayaan Hari Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh dan berbagai festival serta tradisi budaya lainnya. Semua perayaan inilah yang membuat kawasan ini selalu ramai pengunjung. Apalagi di hari-hari besar warga keturunan Tionghoa.
Adalah seorang Letnan Tionghoa bernama Kwee Hoen yang memberikan perintah untuk membangun klenteng ini. Tujuannya tidak lain sebagai penghormatan kepada Dewi Kwam-Im atau dalam bahasa Sanskerta dikenal dengan nama Avalokitesvara.
Alhasil, klenteng itupun akhirnya disebut Guan-Yin Ting atau Kwan-Im Teng. Kata Kwan-Im Teng kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Klenteng. Namun, klenteng ini terbakar dalam pada tahun 1740.
Pada tahun 1755, Oei Tjhie, seorang Kapiten Tionghoa, merestorasi kembali klenteng tersebut dan menamainya Jin-de Yuan (dialek Mandarin) atau Kim Tek Ie (Hokkian) yang bermakna "Golden Virtue" (Kebajikan Emas). Kini klenteng tertua di Jakarta ini resminya disebut Vihara Dharma Bhakti.
Akan tetapi, musibah kebakaran kembali melahap klenteng ini pada tanggal 2 Maret 2015 dinihari. Kebakaran diduga akibat api lilin yang memang banyak menghiasi setiap klenteng.Â
Begitulah, hingga kini klenteng bersejarah itu masih ditutup dan sedang dalam proses rekonstruksi. Sebuah bangunan sementara pun dibangun untuk melayani pengunjung yang datang bersembahyang di sini.
Wihara Dharma Bhakti terletak di Jalan Kemenangan III No. 19, Petak Sembilan, Jakarta Barat. Persisnya berada di area belakang Pasar Glodok. Dari mulut jalan yang berawal di Jalan Pancoran, wihara ini bisa dicapai dengan jalan kaki sekitar 5 menit saja. Hanya sekitar 400 meter. Tidak jauh, bukan?
Meskipun tidak jauh, bersiap-siap menerobos jalan yang selalu dipadati para pedagang ini. Pasalnya, selain sudah sempit, jalan ini sehari-harinya memang menjadi bagian dari Pasar Petak Sembilan. Jalan menuju ke klenteng pun bak berjalan di tengah lorong pasar.
Menjelang Imlek, kompleks wihara ini biasanya bak magnet yang menyedot banyak pengunjung dari berbagai wilayah Jabodetabek. Maklum saja, wihara ini sangat terkenal di Jakarta. Bahkan di setiap tahun, banyak wisatawan maupun wartawan ikut hadir di tempat bersejarah ini. Stasiun TV pun tidak ketinggalan meliput semua aktivitas di wihara ini.
Di samping berbagai aktivitas sembahyang, ada satu ritual yang selalu menarik perhatian pengunjung. Itulah ritual melepaskan burung yang sarat makna. Burung-burung itu dilepas dari sebuah kotak khusus yang telah disiapkan banyak penjual burung di sekitar wihara.Â
Seperti diketahui, burung memiliki banyak makna dan filosofi. Dan boleh jadi itu sebabnya banyak warga Tionghoa pun melakukan ritual melepaskan burung ini. Konon melepaskan burung itu seperti melepas keburukan dalam hidup.
Namun, tidak asal melepas burung. Ada syaratnya. Jumlah burung yang dilepas harus sesuai dengan usia yang melepaskannya. Makin lanjut usia, makin banyak burung yang harus dilepas. Dan tentunya sambil berharap sejuta kebaikan selalu menyertai mereka di sepanjang tahun yang baru.
Menariknya, momen ketika melepaskan burung ini juga menjadi momen favorit bidikan fotografer yang kerap ke sini di setiap perayaan seperti Imlek. Seperti foto salah satu pengunjung di atas yang bersiap melepaskan burung di tengah sorotan kamera stasiun TV dan lensa para fotografer.
Di kawasan Petak Sembilan sendiri sebetulnya terdapat beberapa klenteng. Selain klenteng Kim Tek Ie (Vihara Dharma Bhakti) yang sedang direnovasi dan klenteng sementara di atasnya. Di kompleks wihara ini juga ada klenteng lainnya di bawah naungan Vihara Dharma Sakti yang letaknya bersebelahan.
Perayaan Tahun Baru Imlek pada tahun ini mungkin saja tidak akan semeriah tahun-tahun sebelumnya. Baik di Petak Sembilan maupun di kota-kota lainnya. Pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya mereda menjadi penyebabnya. Meskipun demikian, semangat warga Tionghoa untuk merayakannya tidak pernah sirna. Sekalipun harus mengikuti prokes nan ketat.
Lihat saja atmosfer di semua klenteng. Masih banyak pengunjung yang terus mendatangi klenteng-klenteng ini. Tidak hanya bagi yang berniat bersembahyang, tetapi juga yang ingin menyaksikan sedikit keramaian yang sudah jarang ditemui dalam dua tahun terakhir ini.Â
Tidak ketinggalan para pedagang kecil yang ikut berharap meraup sedikit cuan saat perayaan Imlek ini. Dari penjual pernak-pernik Imlek, penjual buah dan kue sampai pedagang burung. Bahkan ada juga yang menyediakan jasa tukar uang receh bagi yang memerlukannya. Buat apa lagi kalau bukan untuk isi amplop Angpao yang bakal dibagikan.
Sekalipun klenteng tertua di Petak Sembilan itu telah terbakar, tetapi kawasan bersejarah ini masih belum kehilangan pesonanya. Dari Imlek ke Imlek selalu menyimpan banyak cerita menarik. Bukan hanya cerita lama yang masih asyik ditelusuri, tetapi juga berbagai kisah anyar lainnya.
Dan satu hal yang pasti. Bagi warga setempat, nama Petak Sembilan yang telah melekat di hati akan selamanya tetap Petak Sembilan. Sekalipun petak sembilan telah berubah wujud menjadi ratusan petak lainnya.
"Happy Lunar New Year" bagi semua sahabat-sahabat Kompasianer yang merayakannya. Gong Xi Fa Cai!
***
Kelapa Gading, 31 Januari 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Referensi: 1
Catatan:
1) Semua foto-foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi
2) Artikel ini ditulis khusus untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa seizin penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H