Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Garuda di Ujung Landasan

10 November 2021   17:28 Diperbarui: 10 November 2021   17:36 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengadaan pesawat Bombardier yang menimbulkan masalah. Kini telah dikembalikan ke Lessor. Sumber: GM Fikri Izzudin Noor / www.planespotters.net

Nasib Garuda bak menghitung hari. Bahkan secara teknis, Garuda semestinya sudah bangkrut. Meskipun berlabel flag-carrier, Garuda bisa saja dibiarkan pailit. Kecuali Pemerintah Indonesia untuk kesekian kalinya menyelamatkan maskapai penerbangan pelat merah ini. Dan mirip petinju yang sudah hampir KO, Garuda mungkin saja diselamatkan di saat terakhir. Saved by the bell!

Bisnis maskapai penerbangan sebetulnya sangat menjanjikan. Dengan pasar penumpang angkutan udara yang terus menanjak dari tahun ke tahun, bisnis ini begitu menggiurkan. Tidak heran, di sepanjang tahun 2021 ini, di tengah pandemi yang masih belum sepenuhnya berlalu, ratusan maskapai baru terus bermunculan di berbagai pelosok dunia.

Baca juga: "Parade Maskapai Baru di Landasan Pacu"

Dari data yang bisa dilacak di situs Statista, misalnya, sejak tahun 2011, jumlah penumpang angkutan udara dari industri penerbangan global terus meningkat. Jika pada tahun 2011 masih di kisaran angka 2.8 milyar penumpang, maka pada tahun 2019 sudah melejit ke 4.5 milyar.

Angka ini memang sempat menurun drastis akibat pandemi ke 1.8 milyar penumpang. Tetapi, di sepanjang 2021 ini maskapai penerbangan dunia sudah kembali menggeliat. Dan jumlah ini diprediksi akan menyentuh 3.4 milyar di tahun 2022 dan terus menuju ke kisaran angka pre-covid.

Data Penumpang Pesawat dari Maskapai Penerbangan Global, 2004-2020. Sumber: www.statista.com
Data Penumpang Pesawat dari Maskapai Penerbangan Global, 2004-2020. Sumber: www.statista.com
Akan tetapi, di samping peluang bisnis yang sangat atraktif itu, bisnis penerbangan pun mengandung resiko besar. Pandemi covid-19 yang memaksa penduduk dunia tidak bisa bepergian, paling telak memukul industri penerbangan. Apalagi bagi maskapai yang menggunakan pesawat sewaan berbiaya tinggi dari para Lessor.

Sejarah industri penerbangan dunia sejatinya telah mencatat banyak nama maskapai penerbangan terkenal yang telah bangkrut akibat berbagai krisis hingga mismanagement. Sebut di antaranya, Pan American World Airways (Pan Am)-AS, Midway Airlines- AS, Ansett- Australia, Swiss Air- Swiss, Sabena- Belgia, dan banyak lainnya.

Sementara dari Indonesia, tidak sedikit maskapai nasional pun telah lama tumbang, antara lain Adam Air, Batavia Air, Bouraq Airlines, Jatayu Airlines, Mandala Airlines, Merpati Nusantara, dan Sempati Air.

Salah satu periode terberat di industri aviasi tentu saja selama pandemi covid-19 ini. Ribuan armada dari maskapai penerbangan dunia terpaksa di-grounded. Sebagian di antaranya bahkan tidak pernah sanggup mengepakkan sayapnya lagi. Beberapa maskapai berstatus flag carrier (maskapai pembawa bendera nasional) di wilayah ASEAN pun tidak bisa menghindar dari ancaman kebangkrutan.

Misalnya saja, Thai Airways, Philippine Airlines dan Malaysia Airlines. Meskipun ada juga yang diselamatkan, seperti Malaysia Airlines. Sedangkan urusan Thai Airways dan Philippine Airlines sepertinya masih melalui jalan panjang berliku.

Maskapai Philippine Airlines yang telah mengajukan pailit. Sumber: Nibrage / www.planespotters.net
Maskapai Philippine Airlines yang telah mengajukan pailit. Sumber: Nibrage / www.planespotters.net

Bagaimana dengan Garuda Indonesia? Apakah kembali diselamatkan?

Maskapai nasional yang sudah pernah berada di tepi jurang kebangkrutan itu sejatinya sudah dalam status bangkrut. Seperti dikutip dari Kompas.com, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, secara teknis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sudah dalam kondisi bangkrut, namun belum secara legal.

Terang saja bangkrut. Utang perusahaan sudah jauh lebih besar daripada asetnya. Saat ini Garuda tercatat memiliki kewajiban mencapai 9,8 miliar dollar AS. Sementara, asetnya hanya sebesar 6,9 miliar dollar AS.

Kinerja Garuda memang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir. Pandemi covid-19 tentunya salah satu penyebab utama. Namun, masalah Garuda memang sangat kompleks. Bukan semata akibat pandemi ini. Mulai dari tata kelola korporasi yang buruk, pengadaan pesawat dari Lessor yang berbiaya mahal dan sebagainya.

Pengadaan pesawat Bombardier yang menimbulkan masalah. Kini telah dikembalikan ke Lessor. Sumber: GM Fikri Izzudin Noor / www.planespotters.net
Pengadaan pesawat Bombardier yang menimbulkan masalah. Kini telah dikembalikan ke Lessor. Sumber: GM Fikri Izzudin Noor / www.planespotters.net
Dari daftar 'World's Top 100 Airlines' yang dilansir Skytrax, posisi Garuda juga merosot. Dari sebelumnya berada di ranking 12 pada tahun 2019, turun ke peringkat 15 pada tahun ini. Namun, Garuda masih berada di kelompok 10 besar di kategori 'Best Airlines Cabin Crew 2021' (5) dan 'World's Best Economy Class Airline 2021' (10).

Namun, semua penghargaan tersebut tidak berarti ketika kinerja keuangan Garuda sendiri kian memburuk. Di masa lalu, Garuda pun pernah nyaris bangkrut. Dihantam krisis moneter 1998 serta buruknya kinerja Garuda membuat maskapai ini pun sempoyongan.

Menteri BUMN kala itu, yakni Tanri Abeng akhirnya menunjuk Robby Djohan, mantan Dirut Bank Niaga, untuk menakhodai Garuda hingga akhirnya kembali sehat. Penyakit Garuda kala itu konon tidak berbeda jauh dengan saat ini. Utang menggunung yang diperparah dengan kinerja keuangan yang buruk serta banyaknya praktik KKN.

Meskipun Garuda seakan kembali terperosok di lubang yang sama, Pemerintah Indonesia yang diwakili Kementerian BUMN sepertinya tidak akan membiarkan sayap-sayap Garuda patah begitu saja. Setidaknya dari penjelasan Wakil Menteri BUMN, Pemerintah masih berupaya untuk mencari solusi terbaik bagi maskapai pelat merah ini.

Selain melakukan negosiasi ulang kontrak penyewaan pesawat dengan para Lessor, Garuda sedang berusaha mentransformasi bisnisnya. Mulai dari fokus kembali pada rute-rute domestik yang lebih menguntungkan sampai pada pengurangan tipe pesawat yang digunakan.

Jika hendak fokus ke rute domestik, Southwest tentunya layak dijadikan benchmark. Maskapai jawara asal AS ini dikenal sebagai maskapai LCC (Low Cost Carrier) yang sangat efisien mengelola ratusan armadanya. 

Bayangkan saja, dari sekitar 700-an pesawat yang digunakan saat ini, Southwest hanya mengoperasikan tiga tipe pesawat dari seri Boeing 737.

Southwest yang hanya menggunakan 3 tipe pesawat dari 1 pabrikan yang sama. Sumber: Denny's Todorov / www.planespotters.net
Southwest yang hanya menggunakan 3 tipe pesawat dari 1 pabrikan yang sama. Sumber: Denny's Todorov / www.planespotters.net
Garuda sendiri mengoperasikan sekitar 13 jenis pesawat dari tiga pabrikan pesawat berbeda, yakni Airbus, Boeing dan Bombardier. Dengan semakin banyak jenis pesawat dan pabrikan berbeda, maka biaya perawatan pesawat pun sudah tentu menjadi jauh lebih mahal. Kabarnya, Garuda segera memangkas jenis pesawat yang digunakan menjadi hanya 7 jenis pesawat.

Pasar penerbangan domestik tidak kalah menjanjikan. Lihat saja bagaimana kiprah maskapai nasional berlogo Singa yang terus berkibar di pasar dalam negeri ini. Secara global pun sama saja. Maskapai yang fokus ke pasar domestik masih tetap bertahan. Tidak terkendala sedikitpun oleh hambatan penutupan batas negara akibat lockdown dan sebagainya.

Dan ketika pandemi kian melandai di tanah air seperti saat ini, industri penerbangan nasional pun seketika bergerak kembali. Bahkan ada yang optimis, pasar penerbangan domestik di tanah air sedang melaju menuju ke level pre-covid 19. Sayang sekali momentum ini justru tidak bisa dinikmati Garuda andaikan gagal mengangkasa lagi.

Dengan segala upaya yang sedang dilakukan saat ini pun, Garuda memang belum tentu bisa melewati badai ini. Bahkan dalam skenario terburuk bila akhirnya bangkrut, sebuah maskapai nasional lain pun telah disiapkan sebagai penerus.

Itulah jalan yang harus dilewati Garuda. Tidak lagi semulus dan selurus landasan pacu di Soekarno Hatta. Namun, suatu jalan panjang nan berliku. Persis judul lagunya The Beatles, "The Long and Winding Road".

***

Kelapa Gading, 10 November 2021

Oleh: Tonny Syiariel

Referensi: 1, 2

Catatan: 

1) Semua sumber foto yang digunakan sesuai keterangan di masing-masing foto.

2) Artikel ini ditulis khusus untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa seijin penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun