Jakarta telah lama diakui sebagai salah satu destinasi kuliner terdepan di Indonesia. Ribuan restoran, kafe, kedai dan sejenisnya tersebar di seantero kota. Dari berbagai sentra bisnis di pusat kota, di puluhan shopping mall, sampai di kawasan perumahan.
Bukan hanya restoran lokal yang menjamur di mana-mana. Restoran waralaba dari mancanegara pun tidak kalah ekspansif. Ikut mengisi hampir semua ruang kosong di berbagai lokasi strategis. Sebut saja jenis makanan yang diinginkan. Anda akan menemukannya di Jakarta.
Namun, di tengah gempuran restoran dan kafe kekinian itu, Jakarta masih menyimpan banyak restoran lama yang seolah tidak pernah tergerus oleh perubahan zaman. Tidak sekedar bertahan hidup. Sebagian di antaranya bahkan masih bisa bersaing dengan restoran sejenis yang tampil jauh lebih modern.
Seiring dengan kembali menggeliatnya bisnis resto di Jakarta pasca pelonggaran PPKM, saya pun kembali mengunjungi beberapa restoran tempo doeloe di seputar Jakarta. Dari kedai kopi di Jakarta Kota, gerai es krim di wilayah Gambir, hingga sebuah resto di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat.
Kopi Es Tak Kie – Sejak 1927
Nama kedai kopi ini boleh jadi sama tuanya dengan banyak bangunan berlabel ‘heritage’ di kawasan Kota Tua Jakarta. Betapa tidak, kedai kopi yang tersembunyi di sebuah gang di wilayah Pinangsia- Glodok itu telah berdiri sejak tahun 1927. Hampir seabad lalu!
Kedai Kopi Es Tak Kie memang legendaris. Sekalipun kawasan di sekitarnya telah dimodernisasi, Tak Kie tidak berubah dan tetap populer hingga kini. Padahal kompetisi di kawasan itu kian sengit.
Lihat saja di dekat Gang Gloria itu telah berdiri "Pancoran China Town Point" yang megah. Sebuah pertokoan modern yang juga ditempati beberapa kafe waralaba ternama. Lalu di seberangnya, persis di bekas pertokoan Chandra, kini muncul "Petak Enam" yang menaungi puluhan resto dan kafe.
Sejarah Kopi Es Tak Kie bermula dari sebuah warung kopi di kawasan Petak Sembilan yang didirikan seorang perantau dari Tiongkok bernama Liong Kwie Tjong. Tiga tahun kemudian, Kwie Tjong berhasil mendapatkan sebuah lokasi permanen di Gang Gloria. Kedai yang terus ditempatinya hingga saat ini.
Meskipun saat itu sang pemilik mungkin belum mengenal ‘branding’, tetapi nama yang dipilih sejatinya sudah mempertimbangkan hal yang sangat penting bagi banyak pemasar saat ini. Nama “Tak Kie” bukan sekedar nama kedai kopi biasa.
“Tak” bermakna orang yang bijaksana, sederhana dan tidak macam-macam. Sedangkan “Kie” berarti mudah diingat orang. Kedai milik orang bijak nan sederhana yang mudah diingat orang. Perfetto!
Alhasil, setelah hampir satu abad, Tak Kie memang tidak mudah dilupakan pelanggannya. Bahkan ketika sejarah kejayaan kawasan pertokoan Glodok mulai memudar, Tak Kie tetap berkibar di tangan generasi ketiga. Dan barangkali itu juga yang membuat Presiden Jokowi pun pernah singgah ngopi di sini.
Varian kopinya sendiri sebetulnya sangat terbatas, yakni hanya Kopi Hitam (panas/dingin) dan Kopi Susu (panas/dingin). Lupakan nama-nama racikan kopi ala barista masa kini. Meskipun demikian, kedua jenis kopi itu tidak mengecewakan. Apalagi Es Kopi Susunya yang menjadi favorit banyak pelanggan.
Selain itu, kedai kopi legendaris ini sendiri memiliki beberapa makanan lain di daftar menunya. Misalnya, Nasi Campur, Bakso, Kwetiau, dan lain-lain. Tak Kie juga mengijinkan pelanggannya membeli makanan dari luar. Khususnya dari lapak makanan yang tersebar di sepanjang gang tersebut.
Jika tertarik ke sini, bersiap menembus lorong waktu dan pastikan Anda datang antara jam 06.30 – 14.00. Pasalnya, Kedai Kopi Es Tak Kie hanya dibuka sampai pukul dua siang.
Ragusa Es Italia – Sejak 1932
Berbeda dengan Tak Kie yang tersembunyi di sebuah gang kecil. Gerai es krim yang satu ini justru menempati lokasi sangat strategis di dekat kawasan ‘Ring Satu’. Berada di belakang Masjid Istiqlal dan hanya beberapa ratus meter dari Istana Merdeka.
Ragusa Es Italia telah berdiri sejak tahun 1932. Suatu era ketika ibu kota Indonesia ini masih bernama Batavia. Hebatnya, setelah hampir 90 tahun hadir di Jakarta, Ragusa yang berlokasi di Jalan Veteran I No. 10 itu tidak sekedar bertahan.
Gerai es krim legendaris ini masih tetap ramai pengunjung. Padahal tidak sedikit gerai es krim modern hadir di mana-mana. Baik buatan pabrik lokal, maupun es krim terkenal dari negara lain. Setidaknya itulah yang saya saksikan ketika mengunjunginya belum lama ini.
Tentu saja karena situasi pandemi, Ragusa tidak lagi menyediakan cukup tempat duduk di dalam gerainya. Namun, bagi sebagian besar pelanggannya, pembatasan itu tidak menjadi kendala. Banyak pelanggannya yang menikmati es krim jadoel ini sambil berdiri. Atau langsung membawanya pergi (take away).
Tidak seperti sangkaan banyak orang, pengunjung Ragusa tentu saja bukan hanya pecinta es krim zaman old yang hendak bernostalgia. Sebagian besar pengunjungnya justru didominasi kalangan milenial yang mencari sensasi berbeda. Seakan ingin merasakan sepenggal sejarah Jakarta dalam sepotong es krim nan lezat.
Sejarah Ragusa konon diawali dari sebuah gerobak keliling di sekitaran Menteng. Dua bersaudara asal Italia, yakni Luigi dan Vincenzo Ragusa juga sempat menjajakannya di Pasar Gambir, cikal bakal Jakarta Fair, yang berlangsung setahun sekali itu.
Pada tahun 1947, mereka akhirnya bisa membuka gerai es krimnya di Citadelweg yang kini dikenal sebagai Jalan Veteran I. Dan sejak itulah Ragusa ikut membagikan kebahagiaan kepada semua penyuka es krim di kota metropolitan ini.
Salah satu yang khas dari es krim Ragusa adalah penggunaan susu sapi segar yang dominan. Hasilnya, es krim dengan tekstur nan lembut. Persis seperti ketika saya menikmati salah satu es krim favorit di sini, yakni Tutti Frutti. Deliziosa!
Restoran Trio – Sejak 1947
Jelajah kuliner di Batavia, eh Jakarta, tidak lengkap jika hanya ngopi dan nikmati es krim. Bagaimana kalau mampir ke salah satu restoran jadoel lainnya?
Menyusuri jalanan di sekitar Menteng Jakarta Pusat, tidak bisa tidak kita pun akan ikut mengagumi banyaknya rumah-rumah gedongan dari era kolonialisme Belanda. Dan rupanya bukan hanya rumah lama yang menghiasi wilayah di jantung Jakarta ini.
Masih di wilayah yang sama atau persisnya di Gondangdia, sebuah restoran dengan pagar berwarna hijau terlihat begitu berbeda di tepi keramaian Jalan R.P. Soeroso itu. Fasad restoran yang sederhana itu konon tidak berubah selama puluhan tahun. Inilah Restoran Trio yang sangat terkenal itu.
Bukan hanya tampilan depannya yang terlihat jadoel, interior restoran pun sama saja. Lihat saja dekorasi yang dipasang di dinding yang sebagiannya dilapisi keramik itu. Ada hiasan burung Garuda, dua jam dinding bulat, kipas angin model lama, dan sebuah kalender bergaya 80-an yang sudah jarang digunakan saat ini.
Namun, tentu saja semua pelanggan yang ke restoran ini tidak mencari semua kemewahan ala resto modern. Trio yang menyajikan hidangan khas Cantonese ini punya reputasi yang membuatnya tetap berjaya sejak tahun 1947. Hanya dua tahun setelah Indonesia merdeka.
Restoran Trio didirikan pada tahun 1947 oleh Lam Khai Tjioe, Tan Kim Po dan Tan Lung. Boleh jadi nama Trio pun berasal dari tiga sekawan tersebut. Restoran ini kini diteruskan Effendy, anak dari Lam Khai Tjioe, sang juru masak pertama di restoran itu.
Kelezatan berbagai hidangannya yang membuat Restoran Trio ini terus menjadi salah satu restoran favorit hingga kini. Bahkan restoran ini pernah menjadi langganan banyak pejabat teras di Jakarta. Trio sendiri memiliki sangat banyak menu istimewa yang layak dicobain.
Sejak berdiri, Trio sudah pernah menjual lebih dari 200 menu masakan. Namun, jika boleh memilih satu saja, maka Lumpia Udangnya pantas menjadi menu juara di sini. Selain itu, boleh juga cicipi Sop Asparagus yang juga merupakan menu pilihan di sini.
Restoran-restoran tempo doeloe sejatinya telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan ibu kota Jakarta. Dari era Batavia hingga menjadi kota metropolitan terkemuka di kawasan Asia. Dan tentu saja, resto- resto ini tidak hanya mengandalkan atmosfer jadoel buat pelanggannya. Kualitas makanan yang disajikan pun patoet dipoedjikan.
Bagaimana, menarik bukan? Ayo, kita wisata kuliner lagi. :)
***
Kelapa Gading, 11 Oktober 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:
1) Semua foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi.
2) Artikel ini ditulis khusus untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa seijin penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H