Cerita balas dendam rupanya bukan monopoli para pendekar sakti di berbagai cerita silat saja. Beberapa waktu terakhir ini, istilah balas dendam pun mulai dikaitkan dengan perjalanan wisata. Menparekraf Indonesia- Sandiaga Uno sendiri pun sudah beberapa kali menyinggungnya.Â
Wisata Balas Dendam sejatinya bermula dari fenomena Revenge Spending yang muncul di China pasca Revolusi Kebudayaan di era 1980-an.Â
Terminologi Revenge Travel atauKonon setelah begitu lama terkurung akibat Revolusi Kebudayaan, ekonomi China mulai bangkit dan daya beli masyarakat pun meningkat tajam. Apalagi setelah itu mereka pun mulai bisa melakukan perjalanan ke mancanegara.
Wisatawan asal China yang mulai bepergian pun dikenal dengan kemampuan daya belanjanya yang luar biasa. Mereka cenderung membeli apa saja. Mulai dari suvenir di kaki lima sampai produk bermerek terkenal di butik papan atas.Â
Dari kelompok turis yang awalnya tidak dipandang di Eropa, kini dirindukan pemilik butik-butik mewah di Milan, Paris, dan kota-kota besar lainnya di Eropa.
Kini fenomena yang sama seakan berulang. Setelah kota-kota di China mulai dibuka kembali pasca berakhirnya masa lockdown akibat covid-19 di Wuhan, warga China pun bak membalas dendam dengan membanjiri berbagai destinasi wisata serta memborong barang bermerek. Seakan menyalurkan kembali hasrat yang sudah ditahan-tahan akibat karantina yang panjang.
Begitulah, sejak itulah frasa "balas dendam" pun disematkan juga ke bisnis perjalanan wisata di China, Amerika Serikat, India dan di berbagai negara lainnya di dunia. Lalu, apa sebetulnya yang dimaksud dengan Revenge Travel?
Revenge Travel atau secara bebas diterjemahkan sebagai Wisata Balas Dendam mengacu pada fenomena di mana orang-orang melakukan perjalanan wisata untuk melepaskan diri dari berbagai pembatasan yang dilakukan pemerintah. Seakan hendak menebus waktu yang 'hilang' akibat isolasi, karantina, dan restriksi perjalanan lainnya.Â
Suatu keadaan yang juga digambarkan sebagai lockdown fatigue atau kelelahan akibat karantina wilayah yang panjang. Situasi yang telah menyebabkan mereka tidak bisa ke mana-mana. Dan begitu ada sedikit kelonggaran, banyak orang pun mulai berbondong-bondong melakukan perjalanan.
Pada awal Oktober 2020 lalu, Pemerintah China bahkan mendorong masyarakatnya untuk melakukan Revenge Travel untuk membantu pemulihan ekonomi China melalui aktivitas pariwisata. Saat itu memang bertepatan dengan liburan panjang selama 8 hari, yakni untuk merayakan Mid-Autumn Festival.