Tudingan Uni Soviet itu tidak menggoyahkan IOC. Dan sejak '1984 Summer Olympics'Â di Los Angeles itulah, setiap penyelenggaraan Olimpiade berikutnya tidak pernah lepas dari dukungan para sponsor besar. Apalagi biaya penyelenggara kian besar dari waktu ke waktu.
Olimpik dan politik memang kerap bersanding di berbagai pesta Olimpiade. Tidak hanya di Olimpiade yang sudah disebutkan di atas. Tidak sekedar boikot, tetapi juga protes keras. Dan protes pun bisa saja berujung maut. Setidaknya itu yang pernah terjadi di Olimpiade Musim Panas di Mexico City pada tahun 1968.
Sepuluh hari jelang pembukaan Olimpiade, mahasiswa Mexico menggelar protes menentang penggunaan uang negara untuk pesta Olimpiade daripada program sosial. Tentara Mexico rupanya merespons keras. Akibatnya, lebih dari 200 pemrotes jatuh tertembak. Tragis!
Namun, Olimpiade juga menyisipkan semangat solidaritas yang layak dikenang. Seperti yang terjadi di Montreal 1976 yang diwarnai aksi boikot negara-negara Afrika karena keikutsertaan Selandia Baru. Apa pasal? Rupanya Selandia Baru dianggap telah melukai hati negara-negara Afrika akibat kunjungan Tim Rugby-nya ke Afrika Selatan. Maklum saja, Afrika Selatan masih menganut sistem apartheid saat itu.
Olimpiade di era modern mungkin tidak akan pernah terlepas dari isu politik. Olimpiade Tokyo 2020 pun bisa saja terlibat pusaran politik. Tergantung sukses tidaknya Olimpiade di era pandemi ini. Jika pada akhirnya sukses, masyarakat Jepang mungkin segera melupakan semua protes jelang pembukaan Olimpiade ini.
Bagaimana kalau gagal? Ah, anggap saja sukses. Biar PM Jepang Yoshihide Suga bisa tidur nyenyak. :)
***
Kelapa Gading, 1 Agustus 2021
Oleh: Tonny Syiariel