"London Has Fallen". Boleh jadi, judul film yang dibintangi aktor Gerald Butler itu, kini pas menggambarkan atmosfer nan sendu yang menyelimuti kota London saat ini. Puluhan ribu pendukungnya bahkan ikut menjadi saksi langsung tumbangnya The Three Lions di Final Euro 2020 yang berlangsung di stadion Wembley, London. Sementara itu, di stadion Maracana, Rio de Janeiro- Brazil, La Albiceleste, julukan Timnas Argentina justru berdansa Tango merayakan kemenangan di Final Copa America 2021.Â
Inggris dan Argentina memang tidak berhadapan langsung di lapangan hijau kali ini. Bagaimana mungkin. Yang satu berlaga di Euro 2020 di benua Eropa. Sedangkan, yang lain bertarung di Copa America 2021 di benua Amerika Selatan.
Tetapi, siapa yang tidak tahu, keduanya begitu kerap dibandingkan. Tidak terkecuali usai perhelatan dua turnamen besar ini. Apalagi kedua turnamen ini berlangsung bersamaan. Dan kebetulan pula, baik Timnas Inggris maupun Timnas Argentina sama-sama sukses mencapai babak final.
Perseteruan Inggris dan Argentina sebetulnya tidak hanya di lapangan bola. Sejarah permusuhan keduanya juga terjadi di luar sepak bola. Masih ingat Perang Falklands (Malvinas) pada tahun 1982? Atau bagaimana dengan kontroversi "Gol Tangan Tuhan" ala Maradona di perempat-final Piala Dunia 1986 yang berlangsung di stadion Aztec, Mexico City. Tidak lupa, bukan?
Dalam episode teranyar yang baru saja berlalu, kembali Inggris dan Argentina dibandingkan. Di pentas Piala Eropa, Inggris tampil pertama kali di Final Euro 2020 dan bahkan bertindak sebagai tuan rumah di stadion kebanggaannya, Wembley Stadium, London.
Namun, seperti kita semua sudah tahu, kedua tim tangguh ini menuai hasil berbeda. Jika Timnas Inggris harus mengubur ambisinya untuk menjadi juara Piala Eropa untuk pertama kali. Maka, Timnas Argentina justru berpesta di kandang Brazil setelah sukses meraih trofi Copa America-nya yang ke-15.
Timnas Inggris malah lebih menyedihkan. Sebagai negara asal sepak bola modern, Tiga Singa hanya pernah sekali juara di "World Cup 1966", ketika menjadi tuan rumah saat itu. Dan belum pernah juara Piala Eropa. Artinya, sudah 55 tahun Inggris tidak pernah menjuarai sebuah turnamen besar.
Misalnya saja, di Liga Premier Inggris, antara Liverpool vs MU yang setara dengan El Classico di La Liga, yakni antara Barcelona vs Real Madrid. Lalu, di level timnas, antara Argentina vs Brazil.
Bagaimana dengan Inggris vs Argentina? Sungguh suatu persaingan dua negara yang sangat tidak biasa. Jarak ibu kota keduanya saja, yakni London dan Buenos Aires, terbentang sejauh lebih dari 11 ribu kilometer. Tentu saja, ada sebabnya.
Sejarah sepak bola Argentina dan Inggris sejatinya menyimpan banyak kenangan indah di antara kedua negara ini. Bahkan sepak bola di Argentina awalnya diperkenalkan ekspatriat Inggris yang bermukim di Buenos Aires. Pada pertengahan abad ke-19, Buenos Aires dihuni lebih dari 10,000 ekspatriat asal Britania Raya.
Adalah Alexander Watson Hutton, seorang guru sekolah asal Glasgow, Skotlandia, yang pertama kali mengajarkan sepak bola di St. Andrew's Scots School di Buenos Aires pada tahun 1880-an. Hutton yang mendirikan sebuah klub sepak bola pertama di sekolah itu pun diakui sebagai "Father of Argentine Football".
Selanjutnya, diplomasi sepak bola antara Inggris (baca: Britania Raya) dan Argentina berlanjut di abad ke-20. Klub-klub asal Inggris, di antaranya Southampton, Nottingham Forest dan Chelsea, mulai melakukan touring ke Amerika Selatan, termasuk ke Argentina, yang ikut mempercepat perkembangan sepak bola di kawasan ini.
Pada perhelatan "1966 FIFA World Cup" yang diadakan di Inggris, Timnas Inggris menjamu lawannya Argentina di babak perempat-final yang berlangsung di Wembley. Sayang sekali, pertandingan yang berakhir dengan kemenangan Inggris itu dinilai sarat dengan kontroversi.
Manajer Inggris, Alf Ramsey sampai melarang pemain Inggris bertukar jersey dengan pemain Argentina seusai laga. Sang manajer bahkan mengeluarkan umpatan kasar terkait perilaku pemain Argentina. Di sisi lain, publik Argentina menyebut kemenangan Inggris sebagai "El Robo del Siglo" alias Pencurian Abad ini. Argentina merasa Inggris telah mencuri kemenangan itu.
Hubungan buruk Inggris dan Argentina mencapai puncaknya pada tahun 1982. Tanpa diduga, Argentina yang kala itu dikuasai junta militer pimpinan Presiden Leopoldo Galtieri tiba-tiba menginvasi Falklands Island yang sudah lama dikuasai Inggris. Galtieri mengklaim Falklands, yang disebut Malvinas oleh Argentina, adalah milik negara tersebut.
Jika pada tahun 1966, Inggris dituduh 'mencuri' kemenangan, kali ini Argentina yang menjadi tersangka. Gol pertama yang dicetak Diego Maradona diduga menggunakan tangan. Tentu saja belum ada VAR (video assistant referee) saat itu.
Gol pertama yang kontroversial itu pun tetap disahkan wasit. Dan setelah gol kedua yang sangat spektakuler dari Maradona, Inggris pun merana. Argentina sendiri kemudian terus melaju hingga final dan menjadi juara dunia untuk kedua kalinya.
Gol kedua Maradona itu menyabet penghargaan sebagai "Goal of the Century" atau Gol Terbaik Abad ini. Sedangkan, gol pertama yang kontroversial itu dijuluki "Gol Tangan Tuhan". Belakangan Maradona mengaku gol itu sebagai, "a little bit with head of Maradona and a little with the hand of God".
Rivalitas Inggris vs Argentina seakan tidak berujung. Pada pagelaran "1998 FIFA World Cup", kembali kedua musuh lama ini berhadapan. Salah satu momen nan pahit yang tidak terlupakan adalah diusirnya David Beckham, bintang asal Manchester United.
Beckham awalnya dikasari Diego Simeone. Dan ketika masih terbaring di rumput, bintang asal Manchester United itu terpancing provokasi Simeone. Dia pun mengayunkan kakinya ke Simeone. Alhasil, Beckham pun seketika dikartumerah.
Tentu saja, semua kisah di atas telah lama berlalu. Waktu mungkin ikut menyembuhkan sebagian luka lama, baik akibat Perang Falkland maupun berbagai kontroversi di lapangan hijau. Rivalitas keduanya mungkin tidak akan lagi sepanas dulu. Apalagi banyak pemain Argentina ikut merumput di pentas Premier League.Â
Wembley dan Maracana yang begitu berjauhan pun disatukan dalam satu kisah terbaru keduanya. Kala Messi tidak perlu lagi menyanyikan lagu "Don't Cry for Me Argentina", pendukung Timnas Inggris kembali harus menyimpan rapat-rapat harapan "Football is coming home".
***
Kelapa Gading, 13 Juli 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua foto yg digunakan sesuai keterangan di foto masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H