Kota Roma di suatu musim panas yang cerah. Di salah satu spot wisata ternama, ribuan wisatawan memadati hampir setiap sudut di kawasan itu. Jalan-jalan sempit di sekitarnya dipadati arus wisatawan yang terus mengalir. Baik dari arah Via del Corso maupun dari Via del Traforo. Itulah atmosfer yang selalu mewarnai Trevi Fountain atau Fontana di Trevi, salah satu objek wisata paling populer di pusat kota Roma.
Fenomena ini tidak hanya terlihat di Air Mancur Trevi, tapi juga di objek wisata kondang lainnya di ibukota Italia ini. Sebut saja, Spanish Steps, Colosseum, Pantheon dan Piazza Navona.
Kepadatan wisatawan yang begitu tinggi di beberapa objek wisata ini tidak hanya membuat kunjungan wisatawan ke situ menjadi tidak nyaman, tetapi sekaligus menyebabkan warga setempat kian terganggu. Fenomena inilah yang disebut sebagai "Overtourism".
Sejatinya, "Overtourism" dipandang sebagai, "Dampak pariwisata pada suatu destinasi, atau bagian dari itu, yang sangat memengaruhi persepsi kualitas hidup warga dan kualitas pengalaman pengunjung secara negatif". Begitulah definisi yang dicetuskan Organisasi Pariwisata Dunia atau "World Tourism Organization" (UNWTO).
Namun, secara sederhana, Overtourism adalah suatu kondisi di mana jumlah wisatawan di sebuah destinasi wisata dianggap terlalu tinggi, sehingga dirasakan mengganggu kehidupan warga setempat.
Tidak hanya kehilangan atmosfer kotanya yang doeloe, namun mereka pun seakan kian terdesak oleh kehadiran gelombang wisatawan yang tiada henti.
Sebagai salah satu kota paling populer di Italia dan juga di Eropa, Roma adalah destinasi impian banyak wisatawan. Kota abadi ini menyimpan begitu banyak situs bersejarah berstatus UNESCO World Heritage Sites yang menakjubkan.
Alhasil, ibukota Italia berpenduduki 2.8 juta ini rerata menerima sekitar 10 juta wisatawan setiap tahun. Namun, yang menjadi masalah, sebagian besar wisatawan ini hanya mengunjungi objek-objek wisata yang sama dalam waktu nyaris bersamaan.
Hal yang tidak jauh berbeda, bahkan bisa dibilang lebih buruk menimpa Venezia. Sebuah kota yang dibangun di atas air yang kian rapuh. Betapa tidak, kota berpenduduk 50,000 ini didatangi sekitar 25 - 30 juta wisatawan setiap tahun.
Dan di puncak musim liburan, setiap hari sedikitnya 120,000 wisatawan memadati jalan-jalan mulai dari dermaga, sekitar Piazza San Marco sampai ke Jembatan Rialto.
Sementara itu, harian ternama "New York Times", menggelarinya, "The European Capital of Overtourism". Suatu gelar yang menggambarkan betapa mencemaskan situasi Venezia jika tidak secepatnya diatasi.
Venezia sendiri adalah sebuah kota yang terancam tenggelam. Dibangun di atas 118 pulau, 177 kanal dan sekitar 400 jembatan, kota ini telah berkali-kali dilanda bencana acqua-alta yang menenggelamkan sebagian besar kawasan San Marco, bagian terpenting di pulau Venezia.
Selain berbagai ancaman alam seperti ini, fenomena Overtourism memberikan beban tambahan yang tidak kalah memusingkan. UNESCO sendiri sempat mengancam memindahkan status Venezia ke daftar "List of World Heritage in Danger". Status yang bisa saja berujung keluarnya Venezia dari daftar "UNESCO World Heritage Sites".
Kepadatan ini kian menjadi ketika sebuah kota pelabuhan seperti Amsterdam, Venezia, Dubrovnik atau Barcelona disinggahi deretan kapal pesiar berukuran raksasa. Kapasitas kapal pesiar milik Royal Caribbean Cruise, misalnya, antara 2,500 - 5,000 penumpang.
Dubrovnik, sebuah destinasi wisata ternama di Kroasia, adalah sebuah contoh menarik lainnya. Pada tahun 2017 saja, kota ini menerima 742,000 wisatawan kapal pesiar dari 538 kapal. Kota ini memang salah satu destinasi kapal pesiar yang sangat populer di Laut Adriatik. Sedangkan tahun 2019 lalu, kota indah ini menerima sekitar 1.5 juta wisatawan.
Dapat dibayangkan pada suatu hari yang sama, tetiba ribuan wisatawan turun dari kapal-kapal pesiar yang berlabuh. Kawasan kota tua inipun seketika penuh sesak.
"Old City of Dubrovnik", yang dikelilingi Tembok Kota dari abad ke-7, telah masuk "UNESCO World Heritage Site" sejak tahun 1979. Kota tua ini juga salah satu lokasi syuting film "Game of Thrones"Â yang sangat terkenal. Namun, di puncak musim turis di kota ini, yakni dari Juni hingga Agustus, jangan harap Anda bisa menikmati pusat kota tua ini dengan nyaman.
Overtourism di Dubrovnik ikut mendorong warga kota tua ini memilih pindah ke tempat lain. Pada tahun 1991, populasi kota tua sekitar 5,000. Sedangkan kini diperkirakan hanya sekitar 1,557.
Dan mayoritas penduduk yang masih bertahan adalah warga kota yang pekerjaannya boleh jadi terkait pariwisata, baik di hotel, travel agent, restoran, toko suvenir, dll.
Barcelona pun telah menjadi salah satu kota pelabuhan kapal pesiar yang sangat populer di Eropa. Setidaknya sekitar 2.5 juta wisatawan dibawa oleh kapal-kapal pesiar raksasa setiap tahun.
Namun, ironisnya, wisatawan kapal pesiar yang umumnya hanya mengambil paket 'shore excursion'Â dianggap tidak banyak memberikan kontribusi. Setidaknya, begitu keluh para hotelier di Barcelona.
Dan mungkin saja, itulah salah satu alasan yang membuat Walikota Barcelona, Ada Colau, pernah mengancam akan membatasi jumlah kapal pesiar yang berlabuh di pelabuhan Barcelona.
Pada musim panas 2017, penduduk lokal di beberapa kota di Italia dan Spanyol sampai turun ke jalan melakukan protes terhadap fenomena membludaknya wisatawan. Poster para pendemo seakan menegaskan dampak negatif yang dibawa para wisatawan ke kota mereka. Di Barcelona, ada yang menyebutnya, "It isn't tourism, it's "an invasion".Â
Overtourism memang disinyalir memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan hidup warga setempat. Mereka tidak lagi dapat menikmati suasana kotanya yang tenang seperti sebelumnya. Wajah kota pun berubah. Inilah yang juga dirasakan sepenuhnya oleh warga kota Hallstatt di Austria.
Namun, dalam satu dekade terakhir, Hallstatt begitu melejit di pentas pariwisata dunia. Setiap hari sekitar 10,000 wisatawan memasuki kota ini. Tidak mengejutkan pada awal tahun lalu, Walikota Hallstatt, Alexander Schuetz, pun hendak menerapkan sebuah aturan yang membatasi jumlah bus wisata yang masuk per hari.
Pesona sebuah kota seperti Amsterdam, Barcelona, Paris, Roma, dan lain-lain, tidak sekedar warisan budaya yang berstatus "UNESCO World Heritage", tetapi juga atmosfer kotanya yang nyaman dikunjungi. Mulai dari kawasan kota tua dengan jalan-jalan kecil bak labirin, toko-toko kecil yang menarik, budaya warga lokal yang unik dan sebagainya.
Setelah isu Overtourism mengemuka sejak tahun 2015-an, beberapa kota sudah mulai menerapkan beberapa kebijakan untuk mengatasi laju wisatawan yang membanjiri kotanya. Dubrovnik, misalnya, telah menerapkan aturan di mana hanya boleh dua kapal pesiar per hari yang boleh bersandar di pelabuhannya.
Lain lagi dengan Barcelona. Selain pembatasan kapal pesiar yang masuk, kota ini juga menghentikan ijin pembangunan hotel baru di dalam kota. Begitu juga rencana Venezia. Mulai dari larangan pembangunan hotel baru dan resto cepat saji di pusat kota, hingga rencana penerapan 'access fee' bagi wisatawan harian di periode tertentu. Meskipun sebagian aturan itu akhirnya ditunda.
Amsterdam, kota yang juga mengalami overtourism, juga memberlakukan aturan ketat soal tingkah laku wisatawan. Selain larangan minuman beralkohol di jalan, juga ada aturan khusus di kawasan 'Red Light District' yang sangat terkenal di kota itu.
Selain berbagai aturan di atas, apa yang dilakukan Dubrovnik dengan kampanye 'Respect the City' patut menjadi acuan kota-kota lain. Kampanye ini bertujuan menjaga industri pariwisata yang berkelanjutan dan disesuaikan dengan 'carrying capacity' (daya tampung) kota Dubrovnik.
Sesungguhnya, banyak sekali faktor penyebab. Beberapa di antaranya, fenomena LCC (Low Cost Carrier), kian populernya jaringan Airbnb, kapal-kapal pesiar, pengaruh media sosial, dll. Namun, kita tidak boleh melupakan peranan utama Badan Promosi Pariwisata itu sendiri. Bukankah selama ini semua badan pariwisata hanya memiliki satu slogan, "More is better". Dari tahun ke tahun, target yang dikejar adalah peningkatan jumlah wisatawan.
Fenomena Overtourism pada ujungnya membuat semua pihak terkait wajib melakukan evaluasi. Bukan hanya soal isu "Kuantitas vs. Kualitas". Tetapi, bagaimana sebuah destinasi pun boleh saja 'mengatur' perilaku wisatawan yang datang.
Sebuah perjalanan memang bukan semata mengunjungi sebuah destinasi. Tidak juga sekedar mengagumi wajah kota atau menikmati kekayaan kulinernya. Namun, perjalanan yang sama pun harus diikuti rasa hormat terhadap kehidupan warga lokal serta semua warisan budaya dunia yang dilestarikan.Â
***
Kelapa Gading, 12 Maret 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Foto-foto yg digunakan sesuai keterangan di masing-masing foto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H