Pesona sebuah kota seperti Amsterdam, Barcelona, Paris, Roma, dan lain-lain, tidak sekedar warisan budaya yang berstatus "UNESCO World Heritage", tetapi juga atmosfer kotanya yang nyaman dikunjungi. Mulai dari kawasan kota tua dengan jalan-jalan kecil bak labirin, toko-toko kecil yang menarik, budaya warga lokal yang unik dan sebagainya.
Setelah isu Overtourism mengemuka sejak tahun 2015-an, beberapa kota sudah mulai menerapkan beberapa kebijakan untuk mengatasi laju wisatawan yang membanjiri kotanya. Dubrovnik, misalnya, telah menerapkan aturan di mana hanya boleh dua kapal pesiar per hari yang boleh bersandar di pelabuhannya.
Lain lagi dengan Barcelona. Selain pembatasan kapal pesiar yang masuk, kota ini juga menghentikan ijin pembangunan hotel baru di dalam kota. Begitu juga rencana Venezia. Mulai dari larangan pembangunan hotel baru dan resto cepat saji di pusat kota, hingga rencana penerapan 'access fee' bagi wisatawan harian di periode tertentu. Meskipun sebagian aturan itu akhirnya ditunda.
Amsterdam, kota yang juga mengalami overtourism, juga memberlakukan aturan ketat soal tingkah laku wisatawan. Selain larangan minuman beralkohol di jalan, juga ada aturan khusus di kawasan 'Red Light District' yang sangat terkenal di kota itu.
Selain berbagai aturan di atas, apa yang dilakukan Dubrovnik dengan kampanye 'Respect the City' patut menjadi acuan kota-kota lain. Kampanye ini bertujuan menjaga industri pariwisata yang berkelanjutan dan disesuaikan dengan 'carrying capacity' (daya tampung) kota Dubrovnik.
Sesungguhnya, banyak sekali faktor penyebab. Beberapa di antaranya, fenomena LCC (Low Cost Carrier), kian populernya jaringan Airbnb, kapal-kapal pesiar, pengaruh media sosial, dll. Namun, kita tidak boleh melupakan peranan utama Badan Promosi Pariwisata itu sendiri. Bukankah selama ini semua badan pariwisata hanya memiliki satu slogan, "More is better". Dari tahun ke tahun, target yang dikejar adalah peningkatan jumlah wisatawan.
Fenomena Overtourism pada ujungnya membuat semua pihak terkait wajib melakukan evaluasi. Bukan hanya soal isu "Kuantitas vs. Kualitas". Tetapi, bagaimana sebuah destinasi pun boleh saja 'mengatur' perilaku wisatawan yang datang.
Sebuah perjalanan memang bukan semata mengunjungi sebuah destinasi. Tidak juga sekedar mengagumi wajah kota atau menikmati kekayaan kulinernya. Namun, perjalanan yang sama pun harus diikuti rasa hormat terhadap kehidupan warga lokal serta semua warisan budaya dunia yang dilestarikan.Â