Buku elektronik atau e-book berjudul "Our Bali Life is Yours" boleh jadi sedang viral saat ini. Namun, yang pasti ini bukan jenis buku wisata yang dibutuhkan wisatawan manapun. Begitupun kisah ajakan sang penulis buku tersebut untuk pindah dan kerja di Bali. Tentunya juga tidak seperti yang diharapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, Sandiaga Uno, untuk "Work from Destination".Â
Bagi yang belum tahu soal ini, silakan baca tulisan Kompasianer Khrisna Pabichara di sini. Saya sendiri menikmati sekali omelan ala Daeng Khrisna. Bayangkan saja, sedang marah pun, artikelnya tetap sedap dibaca dan ditulis dengan keren. "Puitis sadis abis!", komentar Prof. Felix Tani. Hahaha.
Bali memang telah lama menjadi magnet bagi banyak wisatawan dunia. Tidak sedikit juga wisatawan yang jatuh cinta dengan pulau menawan ini dan akhirnya memilih tinggal dan bekerja di Bali. O ya, tentunya bagi warga negara asing yang hendak bekerja wajib memiliki KITAS, yakni Kartu Izin Tinggal Terbatas. KITAS ini biasanya digunakan para ekspatriat yang ingin bekerja dan tinggal di Indonesia secara sah. Â Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum mengajukan permohohan KITAS.
Jika ke Canggu - Bali, misalnya, banyak sekali kaum digital nomad maupun ekspatriat yang kini tinggal di kawasan yang berada antara Seminyak menuju Tanah Lot itu. Tidak sedikit di antaranya yang bahkan telah menikah dengan warga Indonesia dan memiliki berbagai bisnis di Bali. Mulai dari galeri, kafe, hingga hotel butik. Dan jangan terkejut, jika ada juga yang masih memegang visa turis, tetapi diam-diam mencari pendapatan di pulau yang indah memesona itu.
Dari ratusan buku tentang Bali yang pernah dipublikasikan, ada salah satu yang sangat layak dikenang, yakni "Insight Guide - Bali", karya fotografer dan desainer asal Jerman, Hans Johannes Hoefer. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1970 itu sangat fenomenal.
Kisah perjalanan Hoefer hingga menjadi pendiri "Insight Guides" tidak datang begitu saja. Awalnya, Hoefer yang sedang melakukan perjalanan dari Eropa ke Asia, tergugah oleh pesona Pulau Dewata Bali. Namun, informasi dan buku tentang pulau ini begitu terbatas saat itu. Padahal budaya Bali begitu memikatnya.
Hoefer yang sempat melukis dan menjual hasil lukisannya ke wisatawan pun akhirnya bertekad untuk membuat sebuah buku tentang Bali. Buku yang akan memberikan suatu 'insight' atau wawasan yang tepat tentang Bali. Dia pun makin sering menjelajahi seluruh pelosok Bali. Memotret dan mempelajari semua destinasi wisata dan budaya pulau yang indah itu. Hasilnya, sebuah buku panduan wisata ke Bali yang sangat keren!
Buku "Insight Guide -- Bali"Â memang berbeda. Selain kaya dengan daya tarik visual yang menawan, buku ini juga menyajikan informasi mendalam soal budaya Bali. Dari tari-tarian hingga upacara Ngaben. Bahkan kehidupan sehari-hari di Bali diulas secara menarik. Hoefer seolah ingin mengajak wisatawan bukan sekedar mengenal Bali dari objek wisatanya saja. Tetapi, juga memahami dan selanjutnya lebih menghargai sebuah budaya lokal.
Kekuatan buku ini dan juga semua Insight Guides berikutnya memang pada aspek visual dan kedalaman informasi dengan gaya bahasa yang menarik. Foto-foto berwarna yang disajikan selalu menakjubkan. Begitu berbeda dengan buku panduan wisata terbitan lainnya.
Sebut saja dari "Lonely Planet" yang minim foto-foto berwarna. Â Dan itulah salah satu alasan kenapa saya sendiri begitu terpikat dan akhirnya membelinya. Bahkan ketika membeli buku ini, saya sendiri belum pernah ke Bali maupun ke destinasi wisata manapun. Dan buku inipun tercatat sebagai "guide book" pertama yang saya miliki. Buku yang membuatku tidak hanya makin mengagumi pesona Bali, tetapi jatuh cinta pada industri pariwisata.
Dengan segala keunggulannya itu, tidaklah mengejutkan buku inipun menjadi salah satu buku laris alias 'best seller'Â sepanjang masa. Tidak itu saja, kesuksesan buku ini akhirnya menjadi cikal bakal penerbitan serial buku wisata Insight Guides yang diterbitkan APA Production.
Insight Guides kini telah menerbitkan lebih dari 400 serial buku panduan wisata ke berbagai destinasi dunia. Selain buku lengkap berlabel "Insight Guides", penerbit yang sama juga menerbitkan banyak 'pocket guide' lainnya. Buku "Insight Guide Bali" sendiri telah dicetak ulang belasan kali. Edisi ke-15 saja sudah dicetak hampir 10 tahun lalu.
Persaingan di bisnis buku panduan wisata sangat ketat. Apalagi di era digital, ketika wisatawan pun bisa saja memilih mengunduh buku versi digital. Bahkan ada aplikasi yang menyediakan fasilitas mengunduh gratis informasi wisata dan bisa dibaca secara luring. Salah satunya, "Triposo Travel Guides".
Namun demikian, tidak semua wisatawan nyaman dengan buku versi digital tersebut. Saya sendiri jelas lebih menyukai membaca buku versi cetak dibandingkan membaca e-book. Bahkan sejak pertama kali membeli buku "Insight Guides Bali", sampai kini pun masih membelinya ketika ada kesempatan bepergian.
Buku-buku panduan wisata versi cetakan masih ditemukan di berbagai toko buku besar di seluruh dunia. Di banyak bandara terkenal, jika ada toko buku, maka bisa dipastikan "guide books"Â selalu tersedia di antara deretan rak buku yang dicari para wisatawan.
Nama-nama besar penerbit buku perjalanan wisata masih menjadi jaminan kualitas informasi yang disajikan. Selain serial "Insight Guides", kita juga akan menemukan nama penerbit terkenal lainnya, seperti DK Eyewitness, Lonely Planet, Rough Guides, dan lain-lain.
Ah, tetiba saya ingat suatu kenangan di masa lalu, ketika menjadi pemandu wisata di Jakarta untuk sekelompok wisatawan asal Amerika dan Kanada. Di tangan mereka terlihat buku "Indonesia Handbook" karya Bill Dalton. Artinya jelas, jangan sampai salah cerita. Beruntung ujian saat itu lewat dengan mulus. Dan supaya tidak lagi tegang di kesempatan berikutnya, saya pun menitip seorang teman untuk membeli buku tersebut di Singapore.
Buku "Indonesia Handbook" memang sangat populer di masa lalu. Akan tetapi, karena sebagian isinya dianggap terlalu apa adanya, khususnya soal iklim demokrasi yang terbelunggu di masa Orde Baru, maka tidak heran, buku ini tidak pernah ditemukan di toko buku manapun di Indonesia saat itu.
Misalnya, soal ijin kerja, dan lain-lain. Bukan malah menawarkan suatu 'loophole' atau celah yang dapat dimanfaatkan dalam undang-undang. Atau menyiasati sebuah larangan lewat jalan belakang. Apalagi ajakan tersebut dilakukan di masa pandemi, ketika sudah jelas Indonesia masih tertutup untuk semua warga negara asing.
Pada dasarnya, sebuah buku yang ditulis, baik dicetak maupun hanya berupa e-book, dan apapun topik yang ditulis, seharusnya memberikan pencerahan yang baik ke semua pembacanya. Isinya harus dapat dipertanggung-jawabkan.Â
Bukan hanya soal destinasi wisata yang dikunjungi. Tidak hanya aneka kuliner yang layak dicicipi. Â Dan bukan semata hotel yang direkomendasi, dan lain-lain. Tetapi, buku yang sama juga harus mengajak pembaca atau calon wisatawan untuk ikut memahami budaya lokal, adat istiadat dan tentu saja semua aturan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Jadi apakah ada yang tertarik membeli buku "Our Bali Life is Yours"? Mungkin saja, jika judulnya diganti menjadi "Our Bali Life is in Ruin"Â alias "Kehidupan kami di Bali sedang dalam kehancuran". Jelas sudah. Cuitannya hanya mengundang pihak Imigrasi kini mencarinya. :)
Kelapa Gading, 19 Januari 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Foto-foto yg digunakan sesuai keterangan di masing-masing foto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H