Dunia aviasi tanah air kembali berduka di awal tahun 2021 ini. Pesawat komersial milik maskapai Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 mengalami kecelakaan sesaat setelah lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Pasca kecelakaan pesawat jenis Boeing 737-500 ini, dunia aviasi Indonesia seketika kembali menjadi sorotan dunia. Bukan soal musibah SJ-182 saja, tetapi catatan buruk keselamatan penerbangan di Indonesia selama ini.Â
Sementara itu, terkait musibah SJ-182, media arus utama di tanah air pun seakan ikut berlomba menjadi yang tercepat memberitakan apapun yang terkait dengan kecelakaan tersebut. Tidak jarang kita menyaksikan para nara sumber yang diundang terpaksa berulang kali menjelaskan bahwa semuanya masih harus menunggu hasil investigasi selesai.Â
Dan sama seperti di semua kejadian sebelumnya, spekulasi penyebab kecelakaan juga ramai merebak di berbagai platform percakapan. Tetiba kita menemukan banyak analis penerbangan bermunculan. Ada yang berspekulasi karena cuaca buruk hingga usia pesawat yang sudah sangat tua.
Sudah tua? Betul. Pesawat itu sudah berusia 26 tahun. So what? Toh, tidak ada korelasi antara usia pesawat dengan kecelakaan pesawat, selama pesawat tersebut sudah diperkenankan untuk terbang. Ada prosedur pemeriksaan yang sangat ketat sebelum izin terbang diberikan. Jadi bukan soal usia tua atau muda. Tetapi, laik terbang atau tidak laik. Itu saja.
Sejatinya, pada setiap musibah kecelakaan pesawat, kita tidak akan pernah tahu penyebab utamanya sampai tim investigasi selesai melakukan penyelidikan menyeluruh. Dalam hal kecelakaan transportasi di Indonesia, investigasi untuk menemukan penyebab kecelakaan dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Adalah bijak untuk menunggu sampai semua proses investigasi selesai. Analisa yang terburu-buru bisa sangat spekulatif. Dan bagi nara sumber terkenal atau tokoh nasional yang tidak hati-hati berkomentar, bisa saja opini pribadi mereka akan dijadikan berita oleh media yang hobi mencari sensasi.
Dalam proses investigasi itu, salah satu tahapan penting adalah harus ditemukan dulu black box atau kotak hitam, yang aslinya berwarna oranye. Dikutip dari situs "FlightRadar24", black box pesawat adalah suatu istilah populer yang merujuk pada komponen perekam data elektronik yang sangat dilindungi, yakni CVR (Cockpit Voice Recorder) dan FDR (Flight Data Recorder).
Selain itu, IATA (International Air Transport Association) pun ikut memprediksi Indonesia akan menjadi pasar penerbangan udara terbesar ke-6 di dunia pada tahun 2034. Posisi di atasnya ditempati negara-negara dengan pasar besar lainnya, antara lain China, Amerika Serikat dan India. Fantastis bukan?
Akan tetapi, selain pertumbuhan signifikan di atas, ada banyak sekali isu keselamatan transportasi udara di tanah air yang harus mendapat perhatian serius Pemerintah. Profil Keselamatan Udara Indonesia yang yang tersaji di situs "Aviation Safety Network"Â membuat kita makin prihatin.
Antara tahun 2010 -- 2020, misalnya, hampir setiap tahun terjadi berbagai kecelakaan pesawat terbang yang mewarnai langit pemberitaan di Indonesia. Mulai dari insiden over-run (melaju melewati ujung landasan dan gagal lepas landas), hingga yang fatal seperti crashed (pesawat jatuh).
Tentu saja, dalam setiap kecelakaan pesawat terdapat banyak kemungkinan yang umumnya menjadi penyebab suatu musibah. Bisa saja karena kegagalan mesin (engine failure) atau kerusakan teknis pesawat. Dan mungkin saja karena cuaca buruk atau kesalahan pilot (human error).
Kasus jatuhnya Lion Air JT-610 pada Oktober 2018 lalu, setelah penyelidikan yang panjang, pada akhirnya diakui pihak pabrikan Boeing sebagai kegagalan sistem anti-stall pesawat jet tipe 737 MAX yang tidak berfungsi. Dan meskipun insiden itu terbukti sebagai kesalahan sistem pesawat, tetap saja reputasi industri penerbangan Indonesia sudah terlanjur kena sorotan negatif.
Kembali ke musibah SJ-182, berbagai media dunia kembali menyorot rekor kecelakaan yang terjadi di tanah air. Sejarah kecelakaan masa lalu ikut diungkit. Bahkan larangan terbang bagi maskapai asal Indonesia ke wilayah Uni Eropa, antara tahun 2007 hingga 2018, juga disinggung kembali.
Analis penerbangan dari Teal Group Corp, Richard Aboulafia, pun meragukan prosedur keselamatan sudah diterapkan dengan baik di Indonesia. Seperti dikutip Bloomberg, Aboulafia mengatakan, "I am not completely certain that the proper procedures have been put in place".
Sementara itu, Andre Curran, jurnalis dan pengamat aviasi asal Melbourne, dalam artikelnya di media khusus aviasi "Simpleflying.com", menyajikan suatu analisa yang menarik. Selain membahas kecelakaan SJ-182 dan berbagai kecelakaan lain di masa lalu, Curran juga menulis tentang tantangan industri penerbangan di Indonesia.
Tren peningkatan jumlah penumpang, khususnya di pasar domestik, memang sangat impresif. Seperti yang bisa di lihat di tabel terlampir. Setidaknya dari tahun 2015 hingga 2018, jumlah penumpang domestik mengalami peningkatan signifikan. Bahkan di tahun 2018 mencatat rekor tertinggi ke hampir 95 juta penumpang.
Kementrian Perhubungan, yang memiliki otoritas selaku pembuat regulasi, wajib mengawasi lebih ketat semua maskapai penerbangan. Khususnya terkait keselamatan, antara lain mekanisme pemberian izin terbang, pelatihan awak pesawat, hingga teknisi pesawat. Jika tidak, reputasi Indonesia di industri penerbangan dunia akan kian tercoreng. Gak mau, bukan?
Lalu, apakah perjalanan lewat udara masih cukup aman? Tentu saja! Dibandingkan moda transportasi lainnya, rasanya masih lebih aman naik pesawat terbang. Lagi pula, untuk rute sangat jauh, baik antar pulau maupun antar negara, tidak banyak pilihan lain. Lalu, mau naik apa?Â
 ***
Jakarta, 12 Januari 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Referensi:Â 1, 2, 3, 4, 5 , 6Â
Catatan: Foto-foto yang digunakan sesuai keterangan di foto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H