Indonesia telah lama diakui sebagai sebuah negara bahari. Bahkan dengan jumlah pulau mencapai 17,508, di mana 16,671 nama-nama pulaunya telah diverifikasi sebuah badan PBB bernama "United Nations Group of Experts on Geographical Names" (UNGEGN) pada tahun 2018 lalu, maka Indonesia pun sangat layak menyandang status sebagai Negara Kepulauan Terbesar di Dunia.
Fakta geografis ini tentu saja sejalan dengan kehidupan sehari-hari penduduknya yang tidak berada jauh dari garis pantai dan laut. Setidaknya, begitulah kehidupan masyarakat di sebagian wilayah Indonesia bagian timur yang masih sangat tergantung pada transportasi laut. Mulai dari Provinsi Maluku, Maluku Utara, hingga Papua Barat.
Lahir dan besar di sebuah kota pesisir di Halmahera Utara membuat masa kecil penulis pun tidak jauh dari pantai dan laut. Dan andaikata dulu sudah ada kelompok bernama. Boleh jadi, "Anak-anak Pantai" adalah sebutan yang pas buat kami.
Tentu saja ada sebabnya. Rumah orang tua penulis sendiri ketika itu, hanya puluhan meter dari bibir pantai. Bisa dibilang tiada hari tanpa ke pantai.Â
Mulai pagi hari ketika matahari terbit, siang hari sepulang sekolah, hingga berenang di pantai sampai jelang malam. Bolak-balik ke pantai terus. It's our most favorite playground!
Bermain bola? That's right brother. Kami bermain sepakbola di lapangan pantai. Bisa dibayangkan sang bola kulit itu menjadi kian berat setelah basah. Jatuh bangun di lapangan pasir hitam itu begitu seru. Permainan hanya berakhir ketika lapangan bola makin menyempit seiring air pasang merangkak naik.
Jika tidak bermain bola, acara paling disukai adalah menyusuri garis pantai yang panjang ke utara menuju Tanjung Pilawang. Arah ini otomatis menembus sebuah hutan bakau kecil yang dulu sering dibisiki  berhantu.
Dan kalau ke selatan, mulai dari area pelabuhan hingga sebuah kampung nelayan seakan tidak berujung. Lokasi favorit biasanya di sekitar muara sungai yang dalam sebelum masuk ke laut. Ataupun di sekitar pohon-pohon besar nan rindang yang cabangnya menjulur hingga ke laut.
Ah, dari belakang rumah, kadang balapan lari ke arah pelabuhan dengan melewati kampung dufa-dufa, pasar ikan, hingga tiba di "haven" yang artinya pelabuhan dalam bahasa Belanda. "Ayo, pigi ke haven!"Â adalah ajakan yang artinya, "Ayo, pergi ke pelabuhan."
Pelabuhan adalah salah satu spot favorit banyak anak-anak pantai. Banyak aktivitas yang cukup memompa adrenalin dilakukan di sini. Yang paling ringan adalah melompat dari atas jembatan ke laut yang dalam di sekitar jembatan. Tetapi, jika ada kapal bersandar, anak-anak yang bernyali besar, tidak akan ragu melompat dari atas kapal yang tentu saja lebih tinggi.
Bermain dengan berbagai jenis perahu selalu sangat menarik. Perahu kole-kole, yang tak bercadik, selalu menantang. Bagi yang tidak biasa menjaga keseimbangan, sudah pasti mudah terbalik. Byurrr!
Perahu semang yang bercadik tentunya lebih mudah. Pasalnya, perahu ini memiliki semang (cadik) sebagai alat penyeimbang. Model perahu ini paling populer, apalagi jika dilengkapi layar, sehingga bisa melaju kencang ketika angin bertiup sempurna. Asyik sekali!Â
Bila mendapatkan kesempatan meminjamnya sebentar dari tetangga nelayan, maka perahu-perahu itu harus dijaga dengan baik. Bagi banyak nelayan, perahu semang mereka bak kekasih hati yang selalu menemaninya mengarungi laut.Â
Pantai, pulau dan laut. Itulah duniaku dulu. Sebuah episode kehidupan yang hingga kini membuatku selalu menyukai ke pantai. Menanti matahari terbit di pagi hari, dan di lain waktu, menemaninya hingga menghilang ke peraduannya.Â
Kenangan itu pun membuatku sangat menikmati perjalanan dengan perahu motor dari satu pulau ke pulau lainnya. Aktivitas yang kini lebih dikenal sebagai "Island hopping".
Suara air laut yang pecah ditembus haluan kapal yang lancip bak irama lagu yang indah. Jika cuaca cerah, laut dan langit membiru seperti sebuah lukisan alam yang menawan.Â
Apalagi menjelang matahari terbenam yang memamerkan pemandangan yang begitu menggetarkan hati. Seakan enggan meninggalkannya. Belum lagi, aroma laut yang terus menggoda untuk mencumbuinya.
Begitulah sebagian kenangan masa kecil yang tidak jauh dari laut. Itulah sebabnya, setiap kali membaca tulisan Kompasianer Fauji Yamin tentang kehidupan sehari-hari di Kepulauan Halmahera selalu membuatku merindu suasana di sekitar laut. Duduk di atas atap perahu motor yang melaju, bermain dengan kole-kole, piknik ke pulau kosong, dan lain-lain.
Dunia bahari sendiri sebetulnya adalah sesuatu yang sangat biasa bagi masyarakat di sana. Namun, menjadi langka bagi masyarakat perkotaan. Atau setidaknya bagi masyarakat yang lebih sering menggunakan transportasi darat dalam kesehariannya. Seperti di Pulau Jawa, misalnya.
Di Provinsi Maluku Utara, sebagai contoh saja, masih banyak warga yang sehari-hari menggunakan transportasi laut dari satu pulau ke pulau lainnya. Bahkan sebagian PNS di Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara masih tinggal di kota Ternate.
Sedangkan kantor gubernur sendiri berada di Sofifi, ibukota Provinsi Maluku Utara yang berlokasi di poros tengah Pulau Halmahera dan masih bagian dari Kota Tidore Kepulauan. Alhasil, sebagian di antaranya konon harus pergi-pulang kantor menggunakan kapal feri atau perahu motor.
Sementara dari Tobelo ke Morotai, kita bisa temukan layanan kapal feri dan banyak perahu motor cepat yang beroperasi setiap hari. Lalu, dari Tobelo ke pulau-pulau di sekitarnya, kita bisa menggunakan banyak taxi air alias perahu ketinting yang selalu siap mengantar penumpang dari pelabuhan Tobelo.
Baca juga: "Ternate, Mutiara di Timur yang Fotogenik"
Seperti sepotong lirik lagu "Goyang Tobelo" yang pernah dipopulerkan penyanyi Yopie Latul. Kata "Tobelo" bisa diganti "Halmahera".Â
Ta barindu-rindu, Ta barindu-rindu
Tobelo (Halmahera) so jauh di mata, sio mama
A do do kasiang, A do do kasing
Ta rindu ngoni semua.
Kelapa Gading, 10 Desember 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua foto-foto adalah koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H