Namanya Hallstatt! Lokasi di negara Austria. Julukannya, "The Pearl of Austria". Status sosmed-nya: “The Most Instagrammable place in Europe”. Informasi singkat ini sudah cukup membuat jutaan wisatawan dunia seakan berebutan datang ke kota mungil ini.
Hallstatt adalah sebuah pesona ala kartupos cantik yang sempurna. Kota kecil ini juga ibarat sebuah destinasi di negeri antah berantah dalam sebuah kisah dongeng yang indah. Bahkan, tidak jarang para wisatawan pun nekat membandingkannya dengan keelokan surga yang jelas belum pernah dikunjungi. Maka jangan terkejut, jika kota di tepi danau ini pun digambarkan bak sepotong surga kecil di bumi.
Hallstatt adalah kota kecil memesona di tepi danau Hallstatt di wilayah Salzkammergut. Kota berpenduduk sekitar 800 jiwa berada di antara kota Salzburg dan Graz.
Dari kota Salzburg, yang dikenal sebagai kotanya komponis terkenal W.A. Mozart itu, Hallstatt hanya berjarak sekitar 73 km dan bisa dicapai dalam waktu sekitar 1.5 jam.
Sebagian besar grup wisatawan biasanya hanya singgah di sini selama beberapa jam. Setelah makan siang dan keliling berfoto sepuasnya, mereka pun meneruskan perjalanan ke kota lain atau kembali ke Salzburg untuk bermalam.
Lain lagi dengan wisatawan perorangan yang umumnya memilih nginap di puluhan hotel-hotel yang ada di Hallstatt maupun di desa sekitarnya.
Jarak Munich - Hallstatt hanya 207 km, sedangkan Vienna - Hallstatt sekitar 288 km. Untuk standar jalan bebas hambatan (autobahn) di Jerman dan Austria yang sangat bagus, maka jarak ini relatif tidak terlalu jauh.
Sejarah kota Hallstaat tidak terpisahkan dari industri garam yang sudah berkembang di wilayah ini sejak masa prasejarah. Konon garam telah dieksploitasi di sini pada abad ke-2.
Saat itu garam adalah sumber daya alam yang sangat berharga. Dan Hallstatt memiliki sumber garam yang melimpah. Inilah yang menjadikan kota ini sangat makmur. Nama Hallstatt pun bermakna "place of salt" (tempat garam).
Musim dingin masih menyisakan jejaknya di kawasan pegunungan di sekitar danau Hallstatt, ketika kami tiba di kota ini. Awan tebal sesekali bergerak lambat di atas danau, seakan enggan meninggalkannya. Awal Maret itu temperatur di Hallstaat masih bertengger di kisaran 10°C, meskipun sudah memasuki musim semi.
Namun, ikon kota ini bukanlah alun-alun kotanya. Tetapi, sebuah gereja Lutheran yang terletak tidak jauh dari alun-alun. Gereja Lutheran nan ikonik ini adalah sebuah gereja Evangelical yang dibangun tahun 1785. Meskipun Hallstatt berada di wilayah penganut Katholik, namun penguasa Austria saat itu, Kaisar Franz Joseph I, mengijinkan pembangunan gereja beraliran Protestan ini.
Yang membuat gereja ini menjadi sangat terkenal, bukan karena interior indah yang biasanya ditemukan di banyak gereja di Eropa. Tetapi, justru terlihat lebih menawan dari sisi luar, khususnya ketika dilihat dari kejauhan. Persisnya dari sebuah titik (lokasi) di jalan kecil Gosaumühlstraße 98-62, 4830 Hallstatt.
Sungguhpun begitu, pesona Hallstatt seakan tersembunyi dari dunia ramai selama ratusan tahun. Bahkan sampai akhir abad ke 19, kota ini hanya bisa dicapai melalui danau dengan kapal atau via jalan setapak yang sempit. Lahan antara danau dan lereng gunung sangat terbatas. Dan setiap jengkal lahan yang tersedia pun menjadi begitu berharga.
Jalan pertama ke Hallstatt baru mulai dibangun tahun 1890 di bagian barat sepanjang tepi danau. Sebagian dengan cara meledakkan dinding batu. Akses ke Hallstatt baru menemukan titik terang setelah pada tahun 1964, Pemerintah wilayah Upper Austria menyetujui pembangunan terowongan menembus gunung Hallberg sebagai alternatif. Jalan terowongan Hallstatt itu dibuka pada juni 1966.
Setelah akses dibuka, Hallstatt pun mulai dikenal para pelancong dan petualang dunia yang selalu mencari rute-rute baru ala 'uncharted territory'. Namun, mutiara ini masih belum terendus grup-grup wisatawan yang belum meliriknya. Innsbruck, Salzburg dan Vienna tetap menjadi destinasi utama di Austria.
Bumbu sebagai lokasi film selalu menarik. Begitu juga dengan Hallstatt. Selain film Korea tadi, konon desa Arendelle dalam film animasi "Frozen" terinpirasi dari Hallstatt. Meskipun ada fakta lain yang lebih meyakinkan bahwa lokasi di Frozen lebih menyerupai kawasan fjord di Norwegia.
Yang tidak kalah menarik dan ini pasti, Hallstatt telah memberikan inspirasi ke sebuah perusahaan pertambangan Tiongkok untuk membuat desa tiruannya. Hobi membuat produk KW (singkatan dari Kwalitas) alias barang tiruan rupanya tidak sebatas pembuatan produk elektronik dan fashion. Sebuah kota pun ditiru habis.
Pada 16 Juni 2011 sudah terdengar rencana pembangunan replika Hallstatt di Tiongkok. Dan setahun berikutnya, pada 2 Juni 2012, China Minmetals Corporation, membuat Hallstatt KW dalam ukuran skala penuh (full-scale) di kota Huizhou, provinsi Guangdong.
Memang bukan China namanya, jika tidak jago dalam membuat produk tiruan. Namun demikian, tetap saja, wisatawan manapun selalu mencari yang asli. Begitu pun dengan wisatawan asal negeri Panda dan mancanegara, yang terus mengalir ke Hallstatt, Austria.
Dalam bahasa industri, ‘overtourism’ atau kondisi di mana jumlah wisatawan di sebuah destinasi wisata dianggap terlalu tinggi, maka warga setempat pun mulai merasakan terganggu. Tentu saja, kecuali bagi pemilik hotel, restoran, toko suvenir, dan lain-lain.
Bayangkan saja, kota kecil berpenduduk sekitar 800 jiwa ini harus menerima rata-rata 3000 wisatawan setiap hari sepanjang peak season atau musim puncak wisatawan bepergian. Jelas sudah, warga kota yang tidak terkait dengan industri pariwisata pun menjadi terganggu. Belum lagi perilaku sebagian wisatawan asal Asia yang hobi swafoto itu sungguh tidak elok. Ada saja wisatawan yang berpose di teras rumah atau kebun kecil milik penduduk lokal tanpa permisi.
Dalam sebuah wawancara dengan CNN, Michelle Knoll, Manager Kantor dari Badan Pariwisata Hallstatt mengatakan, “There will be a focus on quality tourism in the future.” Sebuah aturan telah ditetapkan untuk mengatur jumlah wisatawan yang masuk. Akan ada waktu masuk yang ditentukan untuk bus wisata. Dan jumlah maksimum dibatasi masksimal 54 bus per hari atau setengah dari biasanya. Tentu saja, prioritas akan diberikan untuk grup bus wisata yang mempunyai reservasi hotel di Hallstatt.
Namun, sebelum sistem baru itu diimplementasi pada Mei 2020 lalu sesuai rencana awal, covid-19 telah datang. Dan bukan sekedar membatasi, tapi badai covid-19 seolah menyapu bersih kota ini dari semua kunjungan.
Kini Hallstaat kembali sepi. Bagi sebagian penduduknya, setidaknya ada sedikit kelegaan menikmati kembali Hallstatt-nya yang dulu.
Kelapa Gading, 6 Oktober 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Referensi: 1
Catatan:
Foto-foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali 1 foto alun-alun sesuai keterangan di foto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H