Jika mencoba mengenang kembali ihwal 'jatuh cinta' dengan piazza, maka kenangan penulis pun  terbang jauh ke sekitar tahun 90-an, ketika pertama kali mengunjungi Firenze atau Florence, kota tempat lahirnya gerakan Renaissance.
Setelah melewati beberapa jalan kecil bak labirin, tiba-tiba di hadapanku terbentang Piazza della Signoria yang sungguh menawan. Selain Palazzo Vecchio dengan menara lonceng yang menjulang seakan mengawasi piazza ini, maka pandangan kita tidak akan bergeser dari dua karya masterpiece yang tampil disini, yakni Neptune Fountain karya Bartolomoe Ammannati yang sangat monumental dan tentu saja replika Patung David dari Michelangelo.Â
Bagi penulis, sebuah piazza tidak sekedar sebuah alun-alun dengan bangunan berarsitektur indah atau bernilai sejarah. Namun, ada daya magis lain yang mampu menahan langkah kaki untuk berhenti di situ. Dan kemudian menikmatinya dalam waktu yang lama.
Sambil menyeruput secangkir espresso, kita dapat menikmati suasana kota dan menyaksikan penduduk dan pendatang yang lalu lalang melewati piazza. Kata seorang teman, sebuah piazza bak sebuah panggung besar penuh warna.
Suatu ilustrasi yang sungguh tepat. Pasalnya, atmosfer yang ditawarkan oleh sebuah piazza selalu colorful, indah penuh warna yang menjadi ciri khas kota tersebut.Â
Begitu banyak aktor (baca: turis maupun warga lokal), dengan berbagai tingkah polahnya, seakan menjadi bagian dari sebuah mosaik besar yang akan selalu kita kenang.
Dan tentu saja, banyak juga yang berusaha menawarkan jasa, mulai dari penjual suvenir yang menawarkan berbagai barang oleh-oleh; pelukis yang akan mengabadikan momen liburan anda; penghibur jalanan (street performer); dan tidak ketinggalan penjaja makanan dan minuman dari kafe-kafe di sekitarnya.
Semua keramaian ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari sebuah piazza di manapun itu berada. Sebuah piazza tanpa keramaian, ibarat sebuah orkestra tanpa penonton.