Sejak akhir Maret 2020, industri perjalanan global, baik leisure maupun korporat, semuanya berhenti total. Tombol stop traveling tiba-tiba menjadi satu-satunya pilihan yang ada di depan keyboard para pelaku bisnis pariwisata di seluruh dunia.
Kampanye untuk #dirumahsaja, #physicaldistancing, dan berbagai tagar lainnya memberikan efek berbeda ke setiap orang. Bagi yang sudah terbiasa bekerja di rumah, mungkin hanya perlu sedikit adaptasi. Lain ceritanya bagi yang selama ini rutin kerja di luar atau sering bepergian, tentunya terasa lebih berat.
Di industri pariwisata, salah satu industri yang paling terdampak akibat merebaknya Covid-19, kita menemukan banyak profesi yang biasanya kerap kemana-mana, kini harus di rumah saja dan tidak bisa bepergian lagi. Sebut saja, pilot, pramugari, tour leader (pemimpin perjalanan wisata), pramuwisata, business traveler, travel blogger, dan lain-lain.
Dari berbagai analisa hingga data yang bisa dipantau di situs www.worldometers.info, sepertinya jalan kembali ke era normal masih panjang dan berliku. A long and winding road. Beberapa kota di negara yang sempat dibuka sebentar, kini menutup diri lagi.
Belum lagi laporan teranyar dari berbagai media, termasuk yang ditulis The Guardian tanggal 14 Juli, menyiratkan bahwa ada kemungkinan covid-19 bisa saja menular via udara alias airborne transmission. Alamak!
Bahkan andaikata sebuah destinasi dibuka dalam koridor 'New Normal' dengan protokol kesehatan diterapkan, pun tidak membuat dunia wisata akan langsung bergairah.Â
Butuh periode adaptasi yang panjang. Lagipula, wisatawan manakah yang mau bepergian dalam suasana penuh protokol ketat, sambil menggunakan masker, face shield, duduk dalam pesawat berjauhan, dan seterusnya.Â
Alur prosedur pemeriksaan di bandara bahkan lebih panjang dan lebih lama dibandingkan situasi pasca serangan teroris di New York yang dikenal sebagai '911 Attack'. Dan di setiap titik pemeriksaan, baik di bandara keberangkatan, saat transit, hingga bandara tujuan, selalu ada kemungkinan gagal 'swab test' dan terpaksa dikarantina.
Lalu bagaimana menyiasatinya? Apakah tetap berdiam diri menunggu situasi kembali normal sepenuhnya? Dan membiarkan 'passion to travel' tidur panjang. Tentu saja tidak. Para pelaku bisnis pariwisata selalu kreatif mencarikan solusi untuk tetap berwisata. Bukan semata mengatasi kebosanan, tapi bagaimana menjaga agar antusiasme pelanggan untuk bepergian itu selalu terjaga.
Salah satu solusi yang belakangan kian tren adalah menawarkan paket wisata secara virtual. Memang beda rasa, beda segalanya, tapi setidaknya bisa tetap 'jalan-jalan'.
Masih bisa melihat destinasi wisata di berbagai belahan dunia, mempelajari ragam budaya bangsa lain, sambil terus menambah wawasan. Apalagi paket wisatanya hanya dibanderol rata-rata sekitar Rp 30-50 ribuan.