Dan di bagian-bagian tertentu, kita juga bisa menemukan sebuah cafe kecil untuk beristirahat dan menikmati secangkir kopi Turki atau Teh Apel yang enak.
Kata 'murah' di Grand Bazaar sebetulnya sangat relatif, karena sekalipun sudah menawar hampir setengah, kita tidak pernah yakin 100% apakah kita yang tertawa paling keras ataukah sang pedagang, pada akhir sebuah transaksi.
Bagi yang suka berbelanja dan terbiasa tawar-menawar ala Mangga Dua, Grand Bazaar mungkin merupakan sorga. Di bazar sini telah berlangsung ratusan tahun, suatu seni berdagang, adu keahlian, adu strategi, perang urat syaraf antara calon pembeli dan pedagang.Â
Jualan ala Istanbul, sering juga disebut rayuan gombal, membutuhkan 'sparring partner' yang sepadan. Jika tidak, maka dalam satu dua jurus, calon pembeli bisa dipastikan telah berubah status menjadi pelanggan.
Berbeda dengan pedagang di pasar-pasar di Jakarta, maka gaya jualan ala Istanbul sungguh sukar ditolak kalau Anda sudah masuk perangkapnya.Â
Coba bayangkan, kalau Anda berada di suatu negara asing, tiba-tiba ada yang menyapa Anda dengan sangat ramah, "Halo, Selamat Siang, Anda dari Indonesia ya? Wah, saya punya banyak teman di Indonesia. Ayo, mampir ke kios saya...lihat-lihat saja. Kalau tidak ada yang cocok, juga tidak jadi masalah".Â
Begitu langkah kaki Anda melambat, bahkan berhenti, maka jurus berikut segera dilayangkan. Anda segera disuguhi secangkir teh apel, dan ujung-ujungnya Anda keluar dari tokonya dengan terpaksa membawa beberapa tentengan sebagai barter keramah-tamahan sang pemilik toko tadi.
Dan Grand Bazaar adalah gudang para perayu ulung bercokol. Tentu saja bagi yang tahu soal seluk-beluk dan harga pasar karpet, maka bisa jadi akan menjadi suatu petualangan yang sangat menarik.Â
Tapi bagi yang tidak tahu, maka bisa jadi 'neraka'. Misalnya, ketika Anda menunjukkan sedikit saja minat akan keindahan karpetnya, maka mereka pun akan berusaha dengan berbagai rayuan mengajak Anda masuk ke tokonya.