Nyepi sangat identik dengan kultur di Bali. Dimana hari Nyepi adalah momentum untuk merefleksikan diri dari seluruh aktivitas selama setahun, sekaligus momen untuk berkumpul bersama keluarga. Dibalik hari Nyepi terdapat fakta menarik yang patut kita renungkan tentang masa depan bumi.Â
HariBumi yang kita hidupi semakin hari, semakin memilukan. Bahkan kita selalu disuguhi oleh media perihal ancaman terbesar bila bumi mengalami peningkatan suhu sebesar dua derajat yang berakibat pada pemanasan global.Â
Sehingga membuat kita selalu mengurangi polusi ataupun aktivitas yang dapat mengeluarkan emisi karbon secara berlebihan. Sementara Nyepi di Bali, setidaknya mampu mengurangi polusi meskipun dilaksanakan hanya sehari.
Lantas bagaimana jika Nyepi dilakukan di wilayah saya sendiri, yakni Jakarta? Hal itu sangat mungkin dilakukan bila pemerintah Jakarta serius menangani persoalan emisi karbon dari polusi kendaraan. Sebab menurut catatan kompas[1] saja, wilayah Jakarta merupakan salah satu penyumbang polusi terbesar di Indonesia.Â
Kontribusi emisi karbon dari polusi udara Jakarta di sektor transportasi sebesar NOx 72,4 persen, CO 92,36 persen, PM10 57,99 persen dan PM2,5 67,03 persen. Sedangkan sektor industri pengolahan menyumbang polutan SO2 dan terbesar kedua pada NOx, PM10 dan PM2,5. Sehingga selain kendaraan, menjadikan industri sebagai penyumbang polusi terbesar di Jakarta.Â
Pemerintah Jakarta selalu berupaya untuk mengurangi emisi karbon dari polusi udara. Seperti berupaya mengubah pola pikir masyarakat untuk beralih menggunakan transportasi umum, peningkatan kendaraan listrik, dan ganjil genap kendaraan bermobil. Sehingga dari sekian kebijakan tersebut diharapkan masyarakat beralih menggunakan transportasi umum.
Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan sebagian masyarakat sepenuhnya menggunakan transportasi umum. Semisal aturan ganjil genap, sudah jelas bahwa pembatasan kendaraan berlaku sampai jam 20.00 Wib sesuai dengan nomor plat kendaraan. Namun masih banyak masyarakat Jakarta yang mengakali aturan itu. Seperti halnya menunggu jalan hingga selesai pemberlakuan ganjil genap.Â
Belum lagi kita akan menemui dua mobil dengan nomor kendaraan yang berbeda di setiap rumah kelas menengah Jakarta. Seiring pendapatan upah yang tinggi di Jakarta, membuat kepemilikan masyarakat akan kendaraan bermobil sebesar 3.365.467 pada periode 2021.[2] Data demikian memang berbanding jauh dengan provinsi Bali yang hanya sebesar 465.282 pada 2021.[3]Â
Sebagai solusi alternatif, saya menyarankan bahwa pemerintah Jakarta bisa mengikuti Bali yang melaksanakan Nyepi satu hari saja setiap tahunnya. Bukan untuk menanamkan nilai-nilai adat dan keagamaan seperti di Bali, melainkan melaksanakan Nyepi untuk mengurangi emisi karbon dari polusi udara Jakarta.Â
Di Bali pada hari Nyepi dapat mengurangi emisi karbon sebesar 20.000 ton, sekaligus menghemat penggunaan listrik sebesar 60% dalam sehari.[4] Contoh yang bagus untuk Jakarta dan wilayah Indonesia lainnya.Â
Â