Akhir-akhir ini marak sekali konten Youtube yang menyajikan cerita nostalgia tawuran semasa sekolah di STM Jakarta. Mulai dari alumni tua hingga muda diundang untuk menjadi narasumber dalam konten tersebut.
Ceritanya beragam, ada yang mengandung penyesalan dan adapula yang merasa paling menonjol dalam kancah per-tawuran pelajar. Cerita-cerita tersebut akhirnya dikonsumsi oleh kedua teman kuliah saya yang latarbelakangnya bukan berasal dari sekolah di Jakarta, melainkan dari Banyuwangi dan yang satu lagi dari Sumba.
Setelah mereka berdua menonton konten tawuran tak henti-hentinya mereka berdua menanyakan perihal bagaimana menjadi anak STM di Jakarta, yang kebetulan saya sendiri pernah merasakannya. Dari alasan mengapa anak STM tawuran, bagaimana proses regenerasi basis, apa fungsi basis, hingga apakah anak basis boleh pacaran. Semuanya mesti saya jawab kepada teman saya itu, meskipun saya tidak ingin lagi menceritakan semasa sekolah saat saya sudah berkuliah.
Bukannya ingin menutupi, berbeda dengan banyaknya teman-teman kuliah saya yang menceritakan semasa sekolahnya mendulang berbagai prestasi, akan tetapi saya tidak pernah mencapainya. Jadi, saya sedikit merasakan penyesalan. Sungguh miris bagi saya pribadi, hikss.
Menurut penuturan kedua teman saya, sungguh asik menjadi anak STM di Jakarta. Selain memiliki ikatan solidaritas yang kuat di dalam basis (Barisan siswa), katanya anak STM di Jakarta tidak perlu dipusingkan memikirkan urusan-urusan akademik.
Berkebalikan dari penuturan tersebut, menurut sepengalaman saya tantangan semasa STM akan menghambat proses untuk memperoleh pengetahuaan. Bagaimana bisa, baru menjadi pelajar saja sudah dirumitkan dengan urusan-urusan pertempuran selayaknya militer?Â
Jadi begini cerita singkatnya menjadi anak Basis di STM menurut pengalaman saya; di STM sendiri terdapat hierarki senioritas. Ada tradisi bahwa anak kelas satu merupakan budak, kelas dua prajurit, dan kelas tiga ialah raja. Kelas satu mesti rela menjadi suruhan kakak kelasnya, baik kelas dua maupun kelas tiga.
Suruhannya beragam, ada yang disuruh terlebih dahulu menyerang sekolah musuh sebelum kakak kelasnya ikut turun, membawa sajam, merampok pelajar lain, membajak bus kota, hingga yang paling receh sekalipun; meminta kontak handphone siswi SMA. Sehingga apapun yang diinginkan oleh kakak kelas, kelas satu mestilah mentaati. Jika tidak, maka akan mendapat ganjaran berupa kekerasan verbal ataupun fisik.
Ketika sudah menginjak kelas dua, maka sudah bisa dibilang menjadi prajurit penuh. Selain bisa menyuruh anak kelas satu, kelas dua bisa membimbing anak kelas satunya di jalur pertempuran sehingga mengemban tugas yang berat.
Sementara kelas tiga, bisa menikmati selayaknya raja, tidak ikut tawuran pun dimaklumi dengan alasan sebentar lagi ia akan lulus dari sekolah dan tidak ingin tersandung kasus tawuran.
Begitupula bisa memalak anak kelas satu dan kelas dua untuk menikmati dua batang rokok dan secangkir kopi di tongkrongan.