Perempuan itu bernama Firdaus, tokoh yang bercerita di balik jeruji penjara perkara membunuh seorang Germo yang mengancamnya. Sejak kecil, Firdaus merasakan pahitnya hidup; dipaksa bekerja oleh ayahnya dan jarang mendapatkan imbalan. Apalagi ayahnya seorang totaliter, menganggap dirinya sosok yang mesti dihargai dan dihormati sebagai kepala keluarga. Apapun perintahnya, tidak ada kata lain selain mengiyakan. Jika tidak, maka berupa pukulan ganjarannya. Ketika ayahnya mati, Firdaus kemudian tinggal oleh pamannya di kota. Firdaus merasakan kenyamanan bersama pamannya, sebab hanya pamannya yang agak menghormati dirinya meskipun sebelumnya pernah mendapatkan pelecehan seksual.
Hidup di kota, Firdaus disekolahkan sang paman. Usai lama tinggal bersama, istri dari pamannya tidak menyukainya, lantaran Firdaus membebankan keluarga. Setelah lulus sekolah, Firdaus dijodohkan pamannya kepada Syekh Mahmoud guna mengirit biaya hidup keluarga. Perlakukan tidak menyenangkan selalu dirasakan oleh Firdaus; pemaksaan bersenggama dan perlakuan kasar dari suaminya itu. Tidak tahan akan perlakuan suaminya, Firdaus memilih untuk pergi dan membawa ijazah sekolahnya dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Lantas ia bertemu dengan tokoh bernama Bayoumi lalu ditawarkan tempat tinggal. Di apartemen Bayoumi, Firdaus merasakan kembali perlakuan kasar seperti yang dilakukan ayah dan suaminya. Bahkan Firdaus mendapatkan tindakan asusila dari Bayoumi dan temannya.
Firdaus pun memilih pergi, lalu bertemu Sharifa di Taman. Sosok Sharifa yang tidak dikenal sebelumnya, menawarkan pekerjaan kepada Firdaus sebagai pelacur. Namun bekerja kepada Sharifa, pendapatan Firdaus tidak sesuai meskipun memang Firdaus menjadi pelacur yang diminati banyak lelaki.
Tidak merasa dihargai oleh Sharifa, lalu Firdaus enggan melanjutkan pekerjaannya itu. Bermodalkan tekad kuat, Firdaus memperoleh pekerjaan yang layak di perusahaan. Pekerjaan Firdaus cukup memuaskan bagi para petinggi perusahaan. Bahkan integritas dan professional Firdaus tidak perlu diragukan.
Hanya bekerja memang membosankan bagi Firdaus apalagi tugas yang monoton, hal itulah yang menyulutkan Firdaus untuk membuka hatinya kepada lelaki dan menemukan cinta bersama Ibrahim.
Akan tetapi kisah cintanya tidak berjalan semestinya, Firdaus merasakan patah hati akibat Ibrahim menikahi putri dari manager perusahaannya.
Oleh sebab itu, patah hatinya berujung pada tekad untuk kembali menjadi pelacur. Kemudian, Firdaus menjadi pelacur dengan bayaran termahal dan mengalahkan pelacur-pelacur lain.
"Saya tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan macam-macam harga" (hal 125)
Sehingga memaksa seorang Geremo datang dengan ancaman untuk bisa bekerja bersamanya. Akan tetapi Firdaus menolak, baginya Geremo hanya mempersempit pendapatan.
Tak berselang lama, Geremo itu mengalami perselisihan dengan Firdaus dan mati ditangannya. Geremo mendapatkan akibatnya sebab memaksa Firdaus menikahinya lalu memaksa untuk bersetubuh. Hal itulah yang membakar api amarah Firdaus.
Seusai membunuh, Firdaus pergi dari apartemennya lalu bertemu Pangeran Arab dijalanan. Pangeran Arab berupaya memuaskan birahi bersama Firdaus, menawarkan dengan bayaran lumayan. Akan tetapi Firdaus mendapatkan perlakuan kasar diranjang. Akibatnya Pangeran Arab mendapatkan tamparan. Setelah itu, Firdaus berkelakar bahwa ia pernah membunuh seorang Geremo akibat bertindak kasar terhadapnya. Oleh sebab itu, Firdaus dilaporkan ke polisi oleh Pangeran Arab, lantas memperoleh hukuman mati agar rahasia dari Pangeran Arab tersebut tidak terbongkar.
"Sayalah satu-satunya Perempuan yang telah membuka kedok mereka dan memperlihatkan muka kenyataan buruk mereka" (hal 167)
Novel Perempuan Dititik Nol diangkat dari kisah nyata yang bercerita kepada Nawal El-Saadawi dibalik jeruji penjara Mesir. Saadawi berupaya membongkar seluk penindasan terhadap perempuan di negerinya. Begitupula berusaha merebut keadilan gender akan kesamaan hak.
Melalui cerita ini, kita bisa memahami bahwa adanya kebobrokan pemahaman yang dikuasai oleh lelaki. Kita juga mengambil pelajaran bahwa terkadang dibelakang kedok budaya mengandung ketidakadilan gender yang mensubordinasi perempuan. Sebab atas nama keadilan, novel ini mengisyaratkan bahwa menjadi perempuan janganlah tunduk dan bersikap naif terhadap penindasan yang dirasakannya.