Kasus anggota DPRD Sampang yang tertangkap meniduri tiga siswi SMP juga tidak ditanggapi oleh publik seheboh kasus pemerkosaan seksual melibatkan sodomi yang terjadi di JIS ("Anggota DPRD Setubuhi 9 Gadis, 3 di Antaranya Masih SMP,"Â 16/4/2013). Demikian juga kasus pemerkosaan siswi kelas III SD yang dilakukan oleh seorang guru ("Siswi SD di Pondok Rangon diduga dicabuli guru di toilet," 7/5/2014). (Perhatikan juga kalau kasus pemerkosaan pada anak bawah umur biasanya akan disebut sebagai "pencabulan" ketimbang "pemerkosaan.")
Meskipun sama-sama adalah pelaku kekerasan pada anak, kasus-kasus yang melibatkan perlakuan seksual oleh orang dewasa laki-laki pada anak perempuan cenderung dianggap sebagai sesuatu yang "umum" terjadi (baca: "wajar"), kalau tidak bisa dikatakan diterima, dibandingkan orang dewasa laki-laki pada anak laki-laki. Tak jarang, kasus demikian diakhiri dengan pernikahan antara pelaku dan korban yang bawah umur, jika keduanya tidak memiliki ikatan keluarga. Pedofilia yang bersifat heteroseksual cenderung lebih mudah mendapatkan pembenaran kultur dan keagamaan ketimbang pedofilia yang bersifat homoseksual, meskipun hal ini bukan berarti tidak ada tradisi pedofilia homoseksual dalam tradisi lokal di Indonesia.
Relasi seksual antara laki-laki dewasa dengan anak laki-laki bawah umur dikenal dalam hubungan antara warok dan gemblak di Ponorogo, Jawa Timur. Warok adalah dukun yang dikenal memiliki kesaktian dalam upacara spiritual Reog yang mendatangkan roh-roh dalam tradisi animisme Jawa. Sedangkan gemblak adalah anak laki-laki (usia 12-18 tahun) yang didandani seperti perempuan dan diperlakukan layaknya isteri oleh seorang Warok dengan alasan untuk memelihara kebelangsungan kesaktiannya. Konon, warok akan kehilangan kesaktiannya jika melakukan hubungan seksual dengan perempuan (Baca soal warok dan gemblak di sini).
Akan tetapi tradisi semacam ini, yang mungkin sekali bukan merupakan tradisi lokal satu-satunya, semakin memudar seiring dengan modernisasi di Jawa, para gemblak diganti dengan gadis-gadis usia belia. Hal ini memperlihatkan bahwa kecenderungan hubungan seksual antara laki-laki dewasa dengan anak laki-laki, meski terdapat dalam tradisi lokal, tetap saja dianggap sebagai hal yang tabu. Sementara itu, hubungan seksual antara laki-laki dewasa dengan anak perempuan bawah umur masih merupakan isu yang masih berada dalam wilayah abu-abu.
Dengan dalih apapun, kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat antipati masyarakat konservatif di Indonesia pada homoseksual secara keseluruhan --entah itu melibatkan seks dengan anak-anak ataupun tidak-- melebihi antipati pada pedofilia heteroseksual. Hal inilah yang diduga menyumbang pada terjadinya tendensi tebang pilih dalam memberikan sanksi sosial terhadap kasus kekerasan seksual pada anak-anak di Indonesia, terutama ketika kasus itu melibatkan perilaku sodomi (yang langsung diasosiasikan dengan homoseksual).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H