BENCANA ALAM DI TERNATE
Akhir tahun 2011, adalah masa yang paling merepotkan dalam sejarah saya bertempat tinggal di Ternate, Maluku Utara. Letusan besar yang tiba-tiba terjadi pada malam hari tanggal 5 Desember yang  berasal dari gunung Gamalama dan diikuti dengan hujan deras, menyebabkan atap rumah, selokan, dan pekarangan setiap rumah di desa saya tertutup endapan abu vulkanik tebal berwarna hitam pekat.
Belum pernah dibayangkan sebelumnya, bahwa esok hari, saya akan bekerja keras untuk membersihkan talang rumah, mengepel seluruh area teras, dan mencuci kembali jemuran yang tak sempat diangkat malam harinya. Tidak sampai di situ, meskipun hujan sudah reda, jarak pandang akibat abu vulkanik yang beterbangan dan menutupi sebagian besar kota Ternate, membuat saya harus pontang panting mencari persedian masker dari satu apotek,ke apotek yang lain. Pasar-pasar tradisional pun mendadak sepi, demikian juga bandar udara yang terpaksa ditutup. Tanggal 6 Desember, aktifitas masyarakat Kota Ternate bisa dikatakan lumpuh sebagian.
Sosialisasi akan terjadi jika ada komunikasi yang efektif dan efisien di dalamnya. Dewasa ini, memberi informasi yang baik saja tidak cukup, apabila tidak dibarengi dengan penyampaian yang baik. Maka dari itu diperlukan strategi media untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang berada di daerah rawan bencana. Dari yang bersifat tradisional, media daring, hingga ke media massa. Walaupun menumbuhkan dan membangun budaya sadar bencana membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan lintas generasi, ini bukanlah hal yang mustahil dilakukan.
Ada beberapa tindakan yang telah dilakukan oleh BNPB terkait dengan mitigasi bencana, seperti bekerjasama antar lintas sektoral, menyusun peta risiko, mengadakan pelatihan-pelatihan, hingga mengoptimalkan peran Kelurahan Siaga Bencana. Hal-hal yang tersebut tadi berhasil dieksekusi dengan baik melalui BPBD Kota Ternate.
Dan kedepannya, BNPB akan merilis sebuah sandiwara radio berjudul Asmara Di Tengah Bencana Episode 2, yang akan disiarkan pada hari Jum'at, 07 Juli 2017, di 60 stasiun radio swasta dan 20 stasiun radio komunitas, dan tersebar di 20 provinsi.Â
MENGAPA MEMILIH RADIO?
Sebagai orang yang pernah bergelut lebih kurang dua tahun di salah satu radio swasta di kota Ternate, saya cukup tahu bagaimana sebuah informasi bisa sangat membekas kepada para pendengar. Apalagi kepada warga yang bertempat tinggal di pelosok yang hanya mendapat pasokan listrik selama 12 jam, jauh dari siaran televisi, alih-alih berselancar menggunakan internet. Di daerah sepert ini, radio menjadi bahan utama untuk mendapatkan informasi. Baik dari iklan yang diputarkan, atau melalui candaan para penyiar dengan menggunakan bahasa daerah. Kearifan lokal yang sampai sekarang masih senantiasa dijaga. Radio juga menciptakan jarak yang begitu dekat, dibandingkan jenis media elektronik lain. Kemampuan pendengar untuk mencipatakan theatre of mind di benak masing-masing adalah timbal balik positif yang dihasilkan oleh radio.
Saya kemudian teringat ketika stasiun radio tempat saya bekerja, kembali dihujani oleh oleh abu gunung untuk kesekian kalinya. Saya bersama dengan rekan sekerja adalah lekas menutup jendela, melapisi lubang udara dengan koran di studio, dan mengunci ruang pemancar rapat-rapat. Selagi pasokan listrik masih ada, yang kita lakukan adalah mengudara. Menyiarkan kembali perkembangan terkini melalui informasi yang dihimpun dari masyarakat yang kebetulan berada di tempat bencana. Jaringan selular hanya bisa digunakan untuk melakukan panggilan keluar masuk dan pesan pendek. Koneksi data yang bisa menjadi acuan, seringkali tidak aktif untuk beberapa jam lamanya. Bahkan di tempat terpencil, internet menjadi tak ada arti. Dan saat itu, radio kembali menjadi pusat informasi.
Berita tentang rumah ibadah yang rusak, rumah yang hancur, jembatan yang putus, hingga jumlah korban yang terkena imbas bencana alam, bisa diketahui saat itu juga melalui laporan langsung. Pendengar radio tak perlu menghabiskan banyak biaya untuk membeli ponsel pintar dan melihat dunia maya, ataupun datang ke tempat kejadian bencana. Karena sifatnya yang murah, radio bisa menjangkau seluruh masyarakat luas. Selain mudah dibawa-bawa, keunggulan radio yang lain adalah media informasi bermodal suara. Tentu ini sangat membantu bagi para lansia yang mulai sulit melihat, atau warga yang terkendala membaca huruf per huruf.
Kejadian di atas membuktikan, jika peran radio sebenarnya bukan hanya media untuk menyosialisasikan siaga bencana, namun menjadi alat informasi yang efektif saat bencana sedang terjadi.
RADIO SEBAGAI SARANA SOSIALISASI SIAGA BENCANA
Tak semua masyarakat Indonesia tinggal di perkotaan, dan tercakupi dengan area teknologi masa kini. Banyak dari mereka justru bertempat tinggal di lereng gunung, tepi pantai, perbukitan, yang jarang tersentuh dengan kecanggihan dewasa ini. Letak geografis masyarakat desa atau dusun tersebut berpotensi terkena bencana alam sewaktu-waktu dan jarang dapat diperkirakan, karena sumber informasi yang terbatas. Pemasangan Early Warning System juga kadang tak efektif, karena rawan menimbulkan pencurian, dan pengrusakan.
Kondisi lingkungan yang terlempar jauh beberapa tahun ke belakang dibanding lingkungan di kota besar, minimnya pengetahuan baca tulis, serta kurangnya kesiapsiagaan menghadapi bencana, mengerucut menjadi sebuah solusi cerdas. Mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Yaitu dengan menjadikan (atau menghadirkan) radio sebagai alat komunikasi, penyebaran informasi, hingga edukasi.
Siapa yang ingin berniat mencuri radio, jika setiap warga desa yang bertani atau berkebun sambil menenteng barang tersebut kemudian mendengarkan lagu dan suara penyiar favoritnya? Siapa yang butuh aliran listrik untuk menghidupkan radio, jika dengan menggunakan baterai saja sudah bisa diaktifkan? Siapa yang butuh informasi dengan membaca kalimat yang tercetak, jika dengan mendengarkan saja sudah tercukupi? Radio menawarkan keterjangkauan biaya, koneksi yang luas, dan kemudahan yang tak dimiliki oleh media lain. Sosialisasi apapun menjadi mudah dan terbantu. Apalagi berkaitan dengan siaga atau sadar bencana.
Terlepas dari kesuksesan sandiwara radio Asmara Di Tengah Bencana yang sebelumnya diperkirakan mempu meraih 43 Juta pendengar, sosialisasi siaga bencana sebenarnya bisa dilakukan dengan beragam cara di radio dan bersifat berkala. Yang pernah dilakukan oleh stasiun radio saya dulu di Kota Ternate, diantaranya adalah:
1. Pembacaan adlibs (informasi ringan dalam bentuk teks dan dibacakan oleh penyiar) mengenai bahaya bencana di setiap program.
2. Pembuatan jingle iklan layanan masyarakat dengan menggunakan bahasa tempatan yang diselingi guyonan, dalam waktu kurang dari tiga menit (trust me, it really works!).
3. Mengadakan talkshow on-air, dan menghadirkan narasumber terpercaya. Mulai dari kepala adat/dusun/daerah, perwakilan dari instansi pemerintah/swasta yang pernah bersinggungan langsung pada bencana, ataupun masyarakat setempat yang pernah mengalami kerugian akibat bencana.
4. Menghadirkan forum tatap muka, dan sekaligus disiarkan langsung melalui radio. Acara sederhana yang dipandu oleh moderator untuk menjembatani masyarakat dan narasumber dalam obrolan yang santai, menyeruput kopi, dan menyantap gorengan. Perbincangan dengan topik berat seperti: kerentanan, risiko, bahaya, ataupun bencana sekalipun, akan mengalir santai. Hanya saja obrolan mereka akan didengar oleh lebih banyak orang.
Atau,
5. Radio menghadirkan sebuah kuis atau program telpon interaktif antara penyiar dan warga tempatan yang terformat dalam tema siaga bencana, kemudian diakhiri dengan gimmick permintaan lagu favorit pendengar yang nantinya akan diputarkan, bahkan jika boleh ditambahkan, pendengar yang beruntung berhak mendapatkan hadiah menarik diselipi stiker atau booklet tentang siaga bencana.
Jika ada yang ingin menambahkan, silakan.
RADIO, TETAP JAYA DI UDARA
Dengan beberapa kekurangan yang dimiliki radio dalam industri digital dewasa ini, saya masih percaya bahwa sosialisasi siaga bencana oleh radio memainkan peranan penting dalam penyebaran informasi, dan efektif membantu dalam gerakan sadar bencana pada masyarakat yang berisiko terkena bencana. Terutama bencana alam. Apalagi jika dihadirkan dalam bentuk yang menarik, tidak kaku, dan luwes. Dan bonusnya, banyak pihak turut serta dan menerapkan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Terakhir, masyarakat dalam kelompok yang berpotensi terkena bencana inilah yang akan menilai dan tahu pasti; media mana yang lebih mengerti keadaan lingkungan mereka di saat normal, media apa mereka harus dengarkan ketika bencana sedang terjadi, dan bagaimana media yang mereka butuhkan, ketika ingin menyuarakan pendapat kepada pendengar yang lain atas apa yang mereka alami. Dan radio ada di sana, tidak kemana-mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H