KISAH HEROIK DI TANJUNG LABUN
 ( BERDASARKAN WARISAN TULISAN TANGAN KARYA ALM. DJOHARI KAMALUDIN )
"Kesabaran akan membuahkan kebesaran,Â
Ketenangan akan membuahkan kemenangan" (Batin Kuning)
Â
Dua puluh dua kilometer ke arah Barat Laut kota Toboali, Bangka Selatan terdapat sebuah pantai yang indah dengan hamparan luas bebatuan granit yang memukau. Pepohonan Jurung yang tumbuh menjulang puluhan meter menambah eksotis panorama pantai itu. Pasir putih yang lembut dan jernihnya air laut memanjakan mata dan langkah untuk menapaki tepian pantai nan elok dan permai. Sebuah tempat yang cocok untuk penyembuhan jiwa yang lara oleh kesibukan duniawi dan kekecewaan batin. Pantai itu bernama Pantai Tanjung Labun.
Saat memasuki wilayah Pantai Tanjung Labun ini, kita seolah kembali ke Zaman Megalitikum 5.000 tahun silam. Batu-batu granit raksasa seolah mewakili keagungan Yang Maha Kuasa. Di dalam "kerajaan" batu itu terdapat satu batu yang paling besar dan kokoh seakan menjadi "pemimpin prajurit" batu lainnya. Oleh karena itu, batu yang gagah perkasa di tepian pantai itu disebut Batu Panglima. Dan inilah kisah kepahlawanan Sang Panglima....
Alkisah hiduplah dua kakak beradik di Bendeng (desa kecil) Selak yang terletak tidak jauh dari Pantai Tanjung Labun. Sang kakak bernama Tair sedangkan adiknya bernama Taip. Keduanya hidup rukun dan saling menyayangi sesama saudara. Saat masih kanak-kanak, jika ada pemberian penganan atau buah-buahan dari tetangga, sang kakak tidak akan menerimanya kalau tidak ada bagian untuk adiknya. Sebaliknya jika sang kakak sedang tidak berada di rumah, si adik akan menyimpan makanan dan menunggu kakaknya pulang untuk dimakan bersama.
Kedua bocah itu kemudian hari tumbuh menjadi dua orang pendekar yang disegani. Mereka berguru kepada seorang sakti dan bijaksana bernama Batin Kuning. Sang guru selalu menanamkan nilai-nilai kebajikan kepada para muridnya itu. Seorang pendekar wajib memiliki sifat integritas yaitu bertindak sesuai ucapan, jujur dan dapat dipercaya, serta berpegang teguh pada prinsip hidup yang benar dan luhur mulia.
Pendekar juga harus bisa mempertanjungjawabkan aksi mereka, mendahulukan kepentingan orang banyak, dan menjadi penolong bagi yang lemah tanpa mengharapkan pamrih. Tair dan Taip dididik dengan baik hingga menjadi pendekar sejati oleh sang guru.
Dalam hal menuntut ilmu, adik kakak ini sangat rajin dan tekun. Kecerdasan mereka juga di atas rata-rata murid lainnya. Tair yang berbadan besar tegap dan bersuara berat itu memiliki kesaktian pada suaranya yang menggelegar sehingga dapat meluluhlantakkan kawanan bandit dengan satu teriakan membahana. Ia juga memiliki ilmu tapak tangan yang disebut Braja Maut sehingga pertarungan tangan kosongnya sangat mematikan.
Sedangkan Taip dengan postur tubuh kekar berotot memiliki keahlian bermain berbagai macam senjata. Ia piawai dalam menggunakan parang, tombak, tongkat, dan senjata lainnya.
Selain mempelajari berbagai kesaktian, kedua pendekar muda ini juga dibimbing oleh sang guru untuk menjalankan Tapa Brata, sebuah teknik semadi tingkat tinggi untuk mengekang hawa nafsu dan keduniawian. Tair sering menjalankan semadinya di bawah pohon Ara yang rindang di puncak sebuah bukit. Berbeda dengan abangnya, Taip lebih memilih tempat semadi di tepian pantai yang damai. Dari hasil olah nafas inilah mereka berdua dapat dengan mudah menyerap ilmu kesaktian yang diturunkan oleh sang guru.
Suatu malam saat bulan purnama, Taip melakukan Tapa Brata di atas batu besar di tepian pantai seperti biasanya. Dalam khusyuknya, Taip merasakan kedatangan seseorang yang misterius. Orang itu berperawakan gagah dan berwajah tampan, mengenakan jubah berwarna hijau, serta menunggangi kuda putih.
Pemuda kharismatik itu memperkenalkan dirinya sebagai utusan penguasa Pulau Bangka. Pemuda itu bernama Panglima Enceng. Kepada Taip, sang panglima memberikan petunjuk agar Taip semakin giat berlatih ilmu bela diri dan olah kanuragan untuk melindungi bendeng mereka dari serangan para lanun (perompak) yang keji lagi brutal. Sudah ada beberapa tempat di Pulau Bangka ini yang diporakporandakan mereka. Setelah memberikan wejangannya, Panglima Enceng pun menghilang.
Menerima petuah magis tersebut membuat Taip menyudahi semadinya dan bergegas menyampaikan pengalaman batinnya itu kepada gurunya. Ternyata Batin Kuning juga didatangi Sang Panglima Enceng lewat mata spiritualnya semalam. Sang guru lalu mengumpulkan semua muridnya dan tokoh masyarakat lainnya untuk bermusyawarah bagaimana mempersiapkan diri jika memang tempat tinggal mereka itu diserang.
Bendeng mereka walaupun hanya desa kecil, namun memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti rotan, kayu, hasil perkebunan, hasil laut, dan berbagai macam komoditi. Tentu saja hal ini akan memancing ancaman dari luar yang ingin merampas kekayaan bumi mereka. Para pendekar dan kaum muda pun sepakat untuk meningkatkan disiplin berlatih bela diri dan bersatu padu mempertahankan serta melindungi desa tercinta dengan segenap jiwa raga.
Selang beberapa bulan berlalu, apa yang mereka khawatirkan memang benar terjadi. Tiga perahu besar dengan layar bergambar tengkorak memasuki muara sungai menuju Bendeng Selak. Para lanun itu akhirnya memang datang mengusik ketenteraman warga desa. Namun para pendekar dan pemuda sudah mempersiapkan diri menghadapi serangan para perompak tersebut.
Mereka lalu berkumpul dan mengatur strategi untuk menghadapi aksi lanun-lanun jahat itu. Mereka sepakat untuk menghadang perahu lanun agar tidak sempat berlabuh. Serangan itu akan dilakukan menjelang subuh saat para lanun masih terlelap tidur.
 Batin Kuning menunjuk 7 orang pendekar muda sebagai pendekar utama yaitu kedua bersaudara Tair dan Taip, Damer, Uyub, Ahad, Samer, dan Tawan. Sebagai pemimpin para pendekar, diamanahkannya kepada Taip. Ketujuh pendekar gagah berani itu pun ditugaskan untuk penyerangan gerilya, sedangkan pendekar lainnya dan para pemuda desa  tetap berjaga di bendeng.
Di tengah kegelapan malam, Taip dan para pendekar utama pun berangkat ke muara sungai. Setelah mempertimbangkan waktu yang tepat, mereka melancarkan serangan mematikan. Taip menyerang dengan senjatanya yang bergerak sangat cepat sehingga sulit dihindari korbannya.
Kakaknya mengeluarkan ilmu saktinya yang menggelegar hingga para lanun tercerai-berai. Braja mautnya mampu menghancurkan geladak perahu para perompak itu. Karena mendapat serangan mendadak yang dasyat, para lanun tidak berdaya dan menjadi sasaran empuk amukan para pendekar yang sudah terlatih baik. Hanya dalam waktu sekejab, para lanun itu terkapar meregang nyawa. Kapal mereka pun lalu dibakar musnah.
Kemenangan mutlak diraih oleh para pendekar yang dipimpin oleh Taip. Mereka disambut gegap gempita oleh warga bendeng sebagai para pahlawan yang sudah menyelamatkan desa mereka dari ancaman para lanun. Kehidupan di Bendeng Selak berlanjut penuh kedamaian dan ketenteraman karena dijaga oleh para pendekar.
Taip masih sering bertapa di batu besar di tepian pantai yang kemudian hari dikenal sebagai Batu Panglima, untuk mengenang sang panglima pertempuran yang berjuang melawan para perompak. Dan pantai yang dijadikan lokasi bersemadinya Taip, sang pemimpin 7 pendekar utama itu, Â adalah Pantai Tanjung Labun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H